Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anicetus Windarto
Peneliti

Peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Dua Syarat Menginternasionalkan Bahasa Indonesia

Kompas.com - 18/05/2022, 07:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Artinya, pemberontakan lewat bahasa yang praktis meski tidak mengenakkan itu secara tak terduga mampu merusak, mematah-matahkan, atau mengacaubalaukan proyek-proyek kolonial yang selalu dijaga kekebalan dan kelancarannya dengan pasal-pasal hukum haatzai artikelen (penyebar kebencian) atau delik-delik pers (pers delict).

Kwee Thiam Tjing, atau Tjamboek Berdoeri, jurnalis “Soeara Poeblik” di era 1920-an, sempat menjadi penghuni penjara lantaran dituduh sebagai “oproerkraier” (tukang tiup api pemberontakan).

Dengan bahasa “campuran”, “campur aduk”, “gado-gado”, atau “oblok-oblok” (mengeltaal/mischprache) yang tidak hanya mempunyai satu rasa, dia memuji, mencela, bahkan memaki sobat, musuh, famili, pembesar atau preman, termasuk Kanjeng Gubernemen Hindia Belanda.

Maka, tatkala “Bahasa Indonesia” dicanangkan sebagai “bahasa persatuan” pada tahun 1928, bahasa Mas Marco atau Opa Kwee justru dikarantina oleh lembaga-lembaga bahasa milik pemerintah kolonial Belanda seperti Volkslectuur (Bacaan Rakyat) atau Balai Poestaka.

Sebab bahasa mereka dianggap bukan bahasa Melayu yang dipakai oleh banyak kaum dan bukan asli milik pribumi.

Dengan kata lain, bahasa itu tidak termasuk dalam bahasa “Melayu Tinggi” yang dipandang benar dan steril dari sisa-sisa bahasa lain.

Terhadap ide bahasa persatuan itu, Soesilo, intelektual muda Indonesia di era 1930-an, menulis bahwa bahasa yang digagas atau dibangun sebagai calon bahasa aspal dari sebuah bangsa yang baru tumbuh menjadi berbahaya ketika justru berdampak menghilangkan perjuangan untuk melawan apa pun, termasuk sebuah “akrobat otak”.

Sementara Sarmidi Mangunsarkoro, seorang guru di Taman Siswa, memperingatkan bahwa bahasa yang dipoles dan diseragamkan secara seksama akan menyulitkan untuk berbicara dan menulis secara vokal.

Sedangkan Sjafroeddin Prawiranegara, rekan Sarmidi dan juga aktivis mahasiswa Indonesia-Islam, menegaskan bahwa bahasa tidak boleh menjadi mesin atau instrumen, apalagi komoditas.

Sebab bahasa yang dikendalikan oleh pasar akan membenamkan kontradiksi-kontradiksi yang menggerakkan sejarah sebuah bangsa dan mengakibatkan: “Barat terlalu banyak bicara” (Mrázek, 2006).

Dari paparan seperti itu jelas bagaimana sesungguhnya persoalan bahasa di Indonesia bukan karena semata-mata masalah pengubahan bahasanya, akan tetapi justru pada klaim-klaim yang diciptakan untuk memberi “identitas” pada bahasa itu sendiri.

Hal yang kerap dipusingkan oleh para bahasawan, termasuk fakultas-fakultas sastra, yang dengan genit ingin memingit sebuah bahasa dalam kaputren.

Padahal, seperti ditemukan oleh para kalangwan/pujangga di masa lalu, bahwa dunia bahasa, termasuk sastra, adalah “dunia tanpa dinding” (Anderson, 2004).

Karena itu, menjadi tidak penting lagi untuk mempersoalkan jenis bahasa apa yang mampu memberi identitas dalam masyarakat Indonesia yang plural.

Yang justru mendesak untuk dipikirkan adalah bagaimana keluar dari pingitan mitologis bahasa yang telah mengurung keragaman identitas dalam keseragaman budaya yang kolektif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com