Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anicetus Windarto
Peneliti

Peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Dua Syarat Menginternasionalkan Bahasa Indonesia

Kompas.com - 18/05/2022, 07:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DENGAN judul “Bangun Peta Jalan Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional”, Kompas (29/4/2022), membahas mengenai penting dan mendesaknya untuk segera merumuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia.

Bahkan dalam Tajuk Rencana-nya, hal itu ditegaskan kembali dengan judul “Menduniakan Bahasa Indonesia”.

Itu artinya, bahasa Indonesia yang telah digunakan oleh 269 juta orang layak dan pantas untuk dijadikan bahasa internasional, khususnya di Asia Tenggara.

Namun, persoalan mengubah bahasa, dari bahasa lokal ke bahasa nasional, termasuk bahasa global, yang berpengaruh terhadap identitas budaya menarik untuk dikaji dengan jeli dan waspada.

Sebab bahasa yang terlanjur dipandang sebagai persoalan hidup atau mati akan sangat memegang peranan dalam penentuan identitas.

Dengan kata lain, orang bisa dibunuh, atau bahkan saling bunuh, jika dianggap keliru atau salah dalam berbahasa.

Hanya saja, di Indonesia memang lain. James Siegel, ahli budaya asal Cornell University, Amerika Serikat, dalam kajiannya yang berjudul “Berbahasa” (dalam Henri Chambert-Loir, Sadur. Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: KPG, École française d'Extrême-Orient , Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa Universitas Padjajaran, 2009), menjelaskan bahwa tidak ada kebijakan bahasa yang berarti di negeri yang penduduknya banyak dan beragam serta lazim berdwibahasa.

Artinya, selain berbahasa ibu di daerah masing-masing, juga masih berbahasa Indonesia. Tak heran jika jarang terdengar keluh-kesah berbahasa, apalagi mengenai terjemahan, baik antara bahasa-bahasa daerah dan bahasa Indonesia, atau bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa asing.

Itulah mengapa ada perasaan bahwa semua bahasa dapat tampil dalam bahasa Indonesia dan seolah-olah bahasa Indonesia mudah dipelajari oleh semua bahasa.

Kecuali bagi orang-orang Barat, penerjemahan bahasa mereka ke dalam bahasa Indonesia selalu dipandang serba salah.

Apa yang membuat hal itu mungkin terjadi? Benedict Anderson (2009), ahli politik dari Cornell University pula, menegaskan bahwa ada satu lingua franca yang dapat menerima segala macam terjemahan menjadi suatu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan.

Bahasa yang sejak tahun 1910-an dan 1920-an telah dipakai oleh para jurnalis, aktivis, esais/cerpenis sebagai bahasa pergerakan yang bergaya “lisan”, multilingual, dan “liar”.

Mas Marco Kartodikromo, misalnya, yang merupakan jurnalis ternama di Jawa, dipandang sebagai tokoh pergerakan yang berbahasa “koyok Cino” (seperti Cina).

Itulah bahasa yang kerap disalahnamai sebagai “Melayu Rendah”, “Melayu Betawi”, atau Melayu bazaar (pasar)”.

Dengan bahasa macam ini, perlawanan terhadap kolonialisme yang bersifat menyeragamkan masyarakat dalam suatu gagasan masyarakat plural (plural society) dapat dikerjakan dengan “cerdas” dan “tajam”, serta “cepat”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com