Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Tembok: Yang Dihancurkan dan yang Menyengsarakan

Kompas.com - 25/04/2022, 14:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jika Tembok Berlin dalam skala yang lebih besar dihancurkan, kita sekarang ini begitu “getol” membangun tembok dengan alasan keamanan dan kebersihan.

Pembangunan tembok SMKN 69 Jakarta justru menutup akses jalan puluhan rumah di wilayah RT 011 RW 007 Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.

Demi bisa keluar dari rumahnya sendiri ke jalan umum, Bresman Marbun (69) salah satu warga yang terdampak terpaksa harus melewati kamar mandi dan dapur tetangga.

Menurut dia, ada 10 rumah yang terdampak pembangunan tembok SMKN 69.

Dinas Pendidikan DKI Jakarta menganggap pembangunan tembok SMKN 69 tidak ada yang salah karena lahan tersebut milik sekolahan.

Soal warga yang kesulitan karena aksesnya terblokir, pihak dinas berpendapat warga bisa menggunakan jalan yang lain.

Menilik silang sengkarut antara kepentingan pembangunan tembok sekolah dengan kepentingan warga, sepertinya tidak berjalan yang namanya musyawarah untuk mencari titik temu.

Masing-masing pihak selalu mengedepankan kepentingannya – terutama pihak yang berkuasa – dengan mengabaikan kepentingan pihak yang lemah.

Saya jadi teringat dengan kawasan perkantoran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Akses warga perkampungan padat Kampung Makassar yang berada di belakang BKKBN diberi pintu masuk yang dibuka dan ditutup di waktu tertentu.

Warga bisa menunaikan ibadah di Masjid Adzurriyah dan mengambil air bersih di kawasan kantor BKKBN.

Sebaliknya BKKBN mengajak warga untuk menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan. Kedua belah pihak saling mendapat manfaat yang sederajat.

Tembok perkantoran tidak menjadikan BKKBN terkurung dan mengisolasi diri tanpa ada akses warga.

Tetapi mirisnya, masih ada tetangga di lingkungan tempat tinggal saya di Cibubur, Depok, Jawa Barat yang harus membangun tembok “takeshi” hanya karena berselisih paham dengan tetangga di sebelahnya.

Besarnya perbedaan pendapat membuat salah satu pihak “menembok” tinggi perbatasan rumahnya dengan rumah tetangganya, tepat di garis batas halaman depan rumahnya.

Bisa jadi warga kita sekarang kurang memahami mana tembok bersejarah yang harus dipertahankan dan mana tembok yang menyengsarakan yang harus dirobohkan.

Bisa pula elite-elite kita telah memberi contoh akan perlunya membangun tembok-tembok “perbedaan” untuk mempertahankan tembok-tembok “kekuasaan”.

Aku bertanya tentang cicak
dan sejarah kebudayaan manusia.
Siapakah yang lebih dahulu
menemukan tembok dinding.
Cicak ataukah Manusia.

Apa dulu cicak bersarang di pepohonan
berselimut kulit pohon kering
dan membangun istananya
atau di dalam gua gelap
pengap mereka bersarang.

Lalu manusia gua menemukan atapnya
Cicak menemukan dindingnya
ternyata mereka sudah bersahabat
tanpa kenal nama, namun hanya kenal suara

(Tembok Dinding, karya Ade Maulana Aji, Kusandarkan pada Angin, Bali: Kamboja Merah, 2018).

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com