Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Bisa Berbahasa Sunda "Is My Dream, Not Her, My Dream", Mas Arteria Dahlan

Kompas.com - 20/01/2022, 15:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JAGAD pembicaraan teman-teman saya, baik yang berasal dari korps Adhyaksa, alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), dari kalangan wartawan senior serta akademisi sedang “heboh” dengan kewaspadaan menggunakan bahasa daerah di berbagai forum resmi.

Bukan apa-apa, keprihatinan ini bermula dari pernyataan anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan saat rapat kerja Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung (Senin, 17/1/2022).

Di awal pernyataannya, Arteria begitu “sejuk” berharap agar Kejaksaan Agung bersikap profesional dalam bertugas.

Namun komentar lanjutannya begitu menyengat, bahkan “melukai” berbagai kalangan, tidak saja warga bagi Jawa Barat dan Suku Sunda.

Arteria meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin – yang kebetulan juga berasal dari Suku Sunda - untuk mencopot jabatan salah seorang kepala kejaksaan tinggi (Kajati) yang menggunakan Bahasa Sunda saat menggelar rapat.

Arteria beranggapan, sebaiknya dalam rapat seorang Kajati menggunakan Bahasa Indonesia agar tidak menimbulkan salah persepsi dari peserta rapat.

Menurut anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Timur VI itu, kita ini Indonesia. Nanti orang takut, kalau pakai Bahasa Sunda ini orang takut, ngomong apa dan sebagainya.

Arteria minta Kajati ditindak tegas dan dicopot jabatannya (Kompas.com, 18/01/2022).

Jika ada anggota Dewan yang terhormat dengan sadar tanpa menggunakan logika berpikir yang sederhana, maka sudah mudah diduga begitu ada pernyataannya yang “melukai” perasaan masyarakat maka beragam protes, keberatan bahkan rencana aksi unjuk rasa siap digelar.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil langsung bereaksi keras, bahkan meminta dengan segera agar Arteria Dahlan meminta maaf kepada warga Suku Sunda.

Selain dianggap pernyataan Arteria sangat berlebihan, menurut Ridwan masalah bahasa sudah ada ratusan, bahkan ribuan tahun menjadi kekayaan nusantara.

Pernyataan Arteria sangat menyinggung perasaan warga Sunda. Arteria harus memahami kelokalan yang ada di masyarakat dan komentarnya sangat rasis (Detik.com, 18 Januari 2022).

Tokoh masyarakat Sunda yang juga Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI dari Partai Golkar Dedi Mulyadi tidak kalah berangnya mengomentari pernyataan Arteria Dahlan.

Mantan Bupati Purwakarta ini beranggapan penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan rapat adalah sesuatu kewajaran.

Wajar dilakukan selama yang diajak rapat dan diskusi mengerti bahasa daerah yang digunakan sebagai media dialog.

Dedi mencontohkan, saat dirinya menjadi petinggi Purwakarta kerap menggunakan Bahasa Sunda sebagai media dialog bersama masyarakat dan rapat pejabat.

Demikian juga dengan pemimpin-pemimpin di Jawa Tengah termasuk Gubernur Ganjar Pranowo pun juga melakukan hal yang sama.

Saat dirinya memimpin rapat di Komisi IV, Dedi mengaku kerap menyisipkan Bahasa Sunda agar rapat menjadi cair (Kompas.com, 19/01/ 2022).

Internal banteng bergejolak

Keberatan atas pernyataan Arteria Dahlan, tidak saja disesalkan tokoh-tokoh masyarakat Sunda lintas partai tetapi juga datang dari rekan separtainya.

Tokoh Pasundan yang juga anggota DPR RI TB Hasanuddin dari daerah pemilihan Jawa Barat IX yang mencakup Subang, Majalengka dan Sumedang menganggap pernyataan Arteria sangat arogan.

Mantan Sekretaris Militer era Presiden Megawati Soekarnoputri ini mewanti-wanti agar Arteria bisa menjaga sikap dan ucapan.

Ucapan Arteria berlebihan dan melukai perasaan masyarakat dari Suku Sunda.

Seperinya, menggunakan bahasa Sunda bagai sebuah kejahatan berat sehingga si penuturnya layak dipecat dari jabatannya (Cnnindonesia.com, 19 Januari 2022).

Sedangkan Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan di DPR Bambang Wuryanto juga menilai pernyataan Arteria berlebihan apalagi sampai meminta pemecatan.

Hak imunitas yang dimiliki anggota Dewan memang tidak memiliki konsekuensi hukum, tetapi setidaknya anggota Dewan yang akan berkomentar harus juga mempertimbangkan semua aspek (Detik.com, 19 Januari 2022).

Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat Ono Surono berharap Jaksa Agung ST Burhanuddin tidak menggubris permintaan “asal bunyi” dari Arteria.

Ono yang juga anggota DPR RI malah menyebut Kajati Jawa Barat Asep N Mulyana menggunakan bahasa Sunda dalam rapat dengan jajarannya hanya bertujuan untuk menjalin kekeluargaan dan keakraban.

Penggunaan bahasa daerah tanpa maksud yang macam-macam dan berlebihan (Kompas.com, 19/01/2022).

Sikap yang keras ditunjukkan Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Subang, Jawa Barat Noviyanti Maulani.

Novi siap mengundurkan diri dari kepengurusan dan kader PDI Perjuangan. Novi mengaku kecewa karena alasan bergabung dengan partai berlambang kepala banteng bermoncong putih itu adalah melestarikan budaya dan kearifan lokal.

Menurut Novi, lebih baik dirinya keluar dari partai dan mengajak warga untuk memboikot PDI Perjuangan jika ada kadernya di Senayan menistakan identitas budaya lokal tanpa ditindak pengurus dewan pimpinan pusat (Porosjabar.com, 19 Januari 2022).

Menunggu sikap tegas partai

Bukan sekali ini saja Arteria Dahlan bersikap kontroversial. Sebelumnya saat rapat kerja Komisi III dengan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo (28 Maret 2018), Arteria sempat mengeluarkan kata umpatan “bangsat” untuk kekecewaannya terhadap kinerja Kementerian Agama.

Dalam acara program Nata Najwa yang dihelat salah satu stasiun televisi swasta (Oktober 2019), Arteria mengindahkan adab sopan santun saat berdialog dengan salah satu guru besar UI yang dihormati banyak kalangan – termasuk oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri – Prof. Dr Emil Salim.

Dengan menunjuk-nunjuk Prof Emil Salim yang sudah sepuh dan menyombongkan kedudukannya di parlemen, Arteria dianggap pemirsa yang menyaksikan acara tersebut tampil dengan sangat tidak simpati.

Arteria juga melontarkan komentar “aneh” saat dirinya melakukan kunjungan kerja di Pengadilan Negeri Surabaya (12/10/2021).

Alumni FH UI angkatan 2012 ini tidak menyetujui adanya operasi tangkap tangan (OTT) terhadap aparat penegak hukum seperti jaksa, hakim dan polisi.

OTT dinilai Arteria tidak bisa menjamin masalah terselesaikan, bahkan republik ini bisa runtuh jika polisi, jaksa dan hakim terkena OTT.

Masih banyak cara lain untuk memperbaiki perilaku aparat (Republika.co.id, 19 Januari 2022).

Jauh sebelumnya, Arteria juga membuat “gaduh” Senayan saat Komisi III mengadakan rapat kerja dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 11 September 2017 silam.

Arteria tersinggung berat karena pimpinan KPK tidak memanggil anggota Dewan yang hadir dalam rapat dengan sebutan “Yang Terhormat”.

Panggilan ini dianggap Arteria sebagai perwujudan dari suasana kebangsaan (Idntimes.com, 20 Januari 2022).

Dari pengalaman penulis yang intens berhubungan dengan politisi gaek PDI sebelum PDI Perjuangan di era 1980-an seperti mendiang Aberson Marle Sihaloho, Soetardjo Soerjogoeritno, Haryanto Taslam, Alex Litay, Marcel Beding, misalnya, saya mendapat “kesejukkan” dalam bersikap dan “ketenangan” dalam berujar.

Melihat mereka tampil di parlemen, sikapnya seperti “padi”. Berani dan tegas melawan rezim otoriter, tetapi guyub serta sopan dalam pergaulan.

Jika merunut ke generasi PDI dan PDI Perjuangan di masa 1990 – 2000-an di Senayan seperti Didi Supriyanto, Noviantika Nasution, Roy BB Janis, Pramono Anung, Tjahjo Kumolo, Hasto Kristiyanto, Prof Dimyati Hartono, Meilono Suwondo, Daniel Budi Setiawan, Moerdaya Poo, HM Taufiq Kiemas atau Amin Arjoso, saya belajar tentang pengendalian sikap politik yang dewasa dan inspiratif. Mereka tidak sombong apalagi arogan.

Image positif partai dan citra kader partai terkadang diabaikan oleh sikap personal-personal yang hanya mengumbar ambisi pribadi.

Dan yang patut disayangkan, jajaran Dewan Pengurus Pusat PDI Perjuangan abai dan lalai dalam membina apalagi “menindak” anggotanya yang “melukai” perasaan warga.

Sanksi disiplin harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

Menjaring suara di Tatar Parahyangan bagi partai berlambang banteng bukanlah perkara yang mudah.

Pengalaman penulis yang memenangkan salah satu calon anggota legeslatif PDI Perjuangan untuk DPR-RI di daerah Pemilihan Jawa Barat XI yang meliputi Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, sangatlah berat.

Selain wilayahnya yang luas, dominasi partai-partai berazaskan Islam, Golkar, Gerindra dan Demokrat serta masih adanya pandangan “nyinyir” tentang PDI Perjuangan di masyarakat, menjadi tantangan berat “menaklukkan” Jawa Barat.

Di Pemilu 2019 lalu, PDI Perjuangan berhasil meraup suara 3.510.525 di Jawa Barat atau di bawah posisi Gerindra yang jawara dengan raihan 4.320.050.

PKS menguntit PDI Perjuangan di urutan ke 3 dengan 3.286.606 suara.

Sementara di Pemilihan Presiden 2019, pasangan Jokowi-Amin yang didukung penuh PDI Perjuangan kalah telak dari duet Prabowo Subianto Subianto– Sandiaga Uno.

Prabowo unggul dengan 16.077.446 suara, sedangkan Jokowi mendapat suara 10.750.568.

Di Pemilu 2014, PDI Perjuangan meraup suara 4.159.404 dan menduduki urutan pertama raihan suara di Jawa Barat.

Peringkat dua ditempati Golkar dengan 3.540.629 suara dan Gerindra mendapat 2.378.762 suara.

Di Pemilihan Presiden, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla juga “keok” dari duet Prabowo Subianto – Hatta Rajasa.

Jokowi mendapat 40,22 persen, sementara Prabowo meraup 59,78 persen (Kompas.com, 18/07/2014).

Jangan lupakan jas merah

Mungkin Arteria Dahlan yang menjadi anggota DPR dari proses pergantian antarwaktu karena Djarot Saeful Hidayat “ditarik” sebagai Wakil Gubernur DKI tahun 2015 melupakan “jas merah” atau jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Dalam sejarah hidupnya, Bung Karno tidak pernah lepas dari Jawa Barat.

Berkuliah di Technische Hoge School atau yang dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang serta beristrikan Inggit Ganarsih, wanita Suku Sunda yang dinikahi pertamakali oleh Soekarno.

Bandung dan Tatar Sunda menjadi salah satu tempat penempaan sikap revolusioner seorang Soekarno.

Sosok Marhaen yang menjadi cikal bakal ajaran Bung Karno mengenai marhaenisme adalah sosok petani kecil asal Jawa Barat.

Pidato “Indonesia Menggugat” yang dibacakan Soekarno sebagai pledoinya di persidangan Landraad Bandung tahun 1930 menjadi intisari politik penting bangsa ini dalam menentang kolonialisme dan imperialisme.

Sebelumnya, Soekarno bersama tokoh Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) seperti Gatot Mangkupraja, Maskun dan Supriadinata ditangkap serta ditahan kolonial penjajah karena dianggap hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda.

Menjadi absurd jika pengurus Dewan Pengurus Pusat PDI Perjuangan hanya “sekadar” menerima permintaan maaf Arteria Dahlan tanpa mau memahami perasaan warga Suku Sunda secara keseluruhan.

Sikap pongah Arteria Dahlan yang semula enggan meminta maaf secara langsung dan mengarahkan persoalan ke Dewan Kehormatan DPR kini menyatakan permintaan maafnya setelah menemui Sekjen Hasto Kristiyanto dan Ketua Dewan Kehormatan Komarudin Watubun (Kamis, 20 Januari 2022).

Sementara gelombang kekesalan warga Jawa Barat dan masyarakat Suku Sunda di berbagai wilayah terhadap sikap arogannya semakin marak.

Saya yang diminta berkuliah doktoral di Program Pascasarjana kelas reguler Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung oleh Megawati Soekarnoputri dan mendiang HM Taufiq Kiemas tahun 2004 silam, merasa “gagal” walau telah merampungkan penelitian disertasi di berbagai negara di Eropa termasuk ke Korea Utara dan Tiongkok.

Memang saya berhasil menamatkan S-3, tetapi saya tidak bisa menguasai bahasa Sunda yang enak didengarnya. Mirip dialek Bahasa Perancis loh.

Sebagai arek Malang, Jawa Timur yang berkuliah S-1 maupun S-2 di UI, saya kesulitan mempelajari bahasa Sunda. Abdi gagal pisan eui!

Meminjam dialog di film “Layangan Putus” yang lagi tren, bisa berbahasa Sunda is my dream. Not hers. My dream, Mas Arteria Dahlan.

Setidaknya abdi tidak calangap siyah maneh!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com