Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Tjipetir, Gutta-percha dari Sukabumi yang Ditemukan di Eropa

Kompas.com - 28/11/2021, 18:05 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebuah papan bertuliskan "Tjipetir" ramai diperbincangkan setelah banyak ditemukan di pantai-pantai Eropa.

Tjipetir atau Cipetir diketahui merupakan salah satu daerah di Sukabumi, Jawa Barat.

Temuan papan mirip telenan ini pun menimbulkan tanda tanya, bagaimana papan-papan itu bisa sampai di pantai-pantai Eropa?

Ditemukan di sejumlah negara Eropa

Seorang warga bernama Tracy Williams pada 2012 menemukan papan itu kala ia berjalan di pantai dekat rumahnya di Cornwall, Inggris.

Karena penasaran, ia kemudian mengunggah temuan itu ke akun Facebook-nya. Berkat unggahan itu, banyak orang di Eropa melaporkan temuan yang sama.

Mereka berasal dari Spanyol, Perancis, Belanda, Jerman, Norwegia, Swedia, dan Denmark.

Utas tentang misteri Tjipetir yang viral di TwitterTangkapan layar Twitter Utas tentang misteri Tjipetir yang viral di Twitter

Baca juga: Misteri Tjipetir Asal Sukabumi di Eropa

Berasal dari awal 1900-an

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Good News From Indonesia (@gnfi)

Melansir pemberitaan Kompas.com, rasa penasaran Williams untuk mengungkap asal-usul papan itu membawanya pada sebuah riset kecil-kecilan.

Ia menemukan petunjuk pertama berupa foto hitam putih yang menunjukkan seorang anak kecil berdiri di samping tumpukan papan bertuliskan Tjipetir.

Foto itu diketahui berasal dari awal 1900-an.

Dalam informasi lain, Tjipetir merupakan nama perkebunan untuk membudidayakan pohon percha penghasil zat seperti karet yang disebut gutta-percha.

Zat gutta percha tersebut dulunya digunakan pada barang-barang, seperti tambalan gigi, bola golf, hingga kabel bawah air.

Di masa kejayaannya, yaitu era penjajahan Belanda, Tjipeter telah merambah ke pasar internasional.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Misteri Hilangnya Kapal SS Waratah 27 Juli 1909

 

Berasal dari kapal Titanic?

Kapal Titanic menggunakan radio temuan Marconi dan berhasil menghubungi kapal lain untuk menampung 700 penumpang Titanic yang selamatbritannica.com Kapal Titanic menggunakan radio temuan Marconi dan berhasil menghubungi kapal lain untuk menampung 700 penumpang Titanic yang selamat

Setelah bertukar informasi dengan para penemu papan Tjipeter, Williams menemukan teori yang menyebut papan tersebut mungkin berasal dari Titanic yang membawa produk Tjipetir saat tenggelam.

Ahli kelautan Curtis Ebbesmeyer menyebut, papan Tjipetir mungkin terdampar di pantai selama berabad-abad.

"Berdasarkan temuan sejauh ini, mereka jelas dimasukkan ke dalam sirkulasi hemispheric ocean. Hanya butuh waktu 25 tahun bagi flotsam untuk mengelilingi dunia, dan mereka mungkin sudah cukup lama mengelilingi dunia tiga kali," kata Ebbesmeyer.

"Mereka (plat Tjipetir) masih dalam kondisi baik setelah bertahun-tahun, yang tidak biasa. Mereka mungkin salah satu potongan besar kapar yang mungkin ditemukan orang 100 tahun dari sekarang," sambungnya.

Baca juga: Kisah di Balik Plat Tjipetir dari Sukabumi, Tersebar di Banyak Pantai di Eropa

Kapal Miyazaki Maru

Kapal niaga Jepang, Miyazaki Maru, diduga yang pertama kali membawa Tjipetir sampai ke Eropa © uboat.netGNFI Kapal niaga Jepang, Miyazaki Maru, diduga yang pertama kali membawa Tjipetir sampai ke Eropa © uboat.net

Pada 2013, sebuah teori baru muncul terkait adanya papan Tjipetir di banyak pantai Eropa.

Disebutkan bahwa kapal Jepang bernama Miyazaki Maru yang tenggelam pada 31 Mei 1917 dalam perjalanan dari Yokohama menuju London, membawa ribuan papan gutta percha.

Kapal ini tenggelam 150 mil di sebelah barat Kepulauan Scilly setelah diserang oleh kapal selam U-88 Jerman. Peristiwa ini memakan korban delapan orang.

Baca juga: Misteri Kasus Pembunuhan Mahasiswi di Jepang, Polisi Periksa 75.000 Saksi hingga Janjikan Hadiah Rp 1 Miliar

 

Pabrik dan perkebunan Tjipetir di Sukabumi

Pekerja melintas di depan Pabrik Karet Tjipetir, Cikidang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (13/7/2018). Pabrik Tjipetir milik PTPN VIII Sukamaju yang mengolah daun gutta-percha menjadi bahan baku pembuatan benda seperti bola golf, sambungan akar gigi, dan pelapis kabel keras tersebut saat ini hanya beroperasi jika ada pesanan yang kebanyakan berasal dari Benua Eropa. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi Pekerja melintas di depan Pabrik Karet Tjipetir, Cikidang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (13/7/2018). Pabrik Tjipetir milik PTPN VIII Sukamaju yang mengolah daun gutta-percha menjadi bahan baku pembuatan benda seperti bola golf, sambungan akar gigi, dan pelapis kabel keras tersebut saat ini hanya beroperasi jika ada pesanan yang kebanyakan berasal dari Benua Eropa.

Dikutip dari Kompas.com, diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mengungkap misteri papan Tjipetir, dan petunjuk pertama datang dari penemuan foto hitam-putih.

Foto tersebut dipotret di Provinsi Jawa Barat, Indonesia pada awal 1900-an, yang menunjukkan tumpukan papan yang dipanggang di bawah sinar matahari di samping seorang anak laki-laki.

Perkebunan tersebut bernama Tjipetir, yang membudidayakan pohon percha, yang menghasilkan zat seperti karet yang disebut gutta percha, yang pernah berfungsi sebagai pendahulu plastik.

Ini digunakan pada barang-barang dari tambalan gigi, bola golf, hingga kabeh bawah air. Bahan ini menunjukkan ketahanan luar biasa saat terkena air.

Pabrik gutta-percha atau dikenal dengan getah perca Tjipetir pernah mengalami masa kejayannya saat zaman kolonial Belanda.

Bahan baku lempengan karet tersebut ternyata sudah merambah pasar internasional. Pohon karet di Sukabumi pertama kali ditanam tahun 1887 oleh Belanda dan butuh 10-14 tahun sebelum bisa dipanen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com