Kedekatan Menwa dengan militer berdampak pada penampilan dan sikap para anggotanya.
"Penampilan dan tata cara organisasi yang militeristik membuat Menwa kerap disangkutpautkan dengan kekerasan, sehingga menimbulkan sikap tidak bersahabat dari rekan mahasiswa yang lain," tulis Raditya Christian Kusumabrata.
Raditya menulis skripsi di Prodi Ilmu Sejarah FIB UI pada tahun 2011 dengan judul "Resimen Mahasiswa Sebagai Komponen Cadangan Pertahanan 1963-2000: Pembentukan Resimen Mahasiswa Mahawarman".
Baca juga: Polisi Temukan Tanda Kekerasan di Tubuh Mahasiswa UNS yang Tewas Saat Diklatsar Menwa
Pada 1994 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Semarang mengeluarkan pernyataan keprihatinan seiring berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan anggota Menwa.
Tuntutan penghapusan datang dari Kelompok Cipayung terdiri dari PB HMI, GMNI, PMKRI dan GMKI.
Tuntutan pembubaran menwa datang dari IAIN Walisongo Semarang setelah mahasiswanya dianiaya anggota Menwa.
Pada 2000 melalui referendum, mahasiswa IAIN Walisongo menolak keberadaan Menwa di kampusnya.
Keberhasilan IAIN Walisongo Semarang menjadi pemicu tindakan serupa di banyak perguruan tinggi lain di Indonesia.
Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Menteri pendidikan nasional, dan Menteri Dalam Negeri kemudian menetapkan Menwa sebagai UKM.
Sehingga pembinaan Menwa sebagai UKM diserahkan kepada masing-masing perguruan tinggi sejak 11 Oktober 2000.
Kendati Menwa tidak lagi di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan, namun aktivitas Menwa masih ada yang menjalin kerjasama dengan Komando Kewilayahan TNI.
Baca juga: 5 Fakta Terkait Meninggalnya Mahasiswa Saat Diklatsar Menwa UNS