Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Tersangka Suap, Apa Bedanya dengan Gratifikasi?

Kompas.com - 25/09/2021, 10:45 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Rendika Ferri Kurniawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sebagai tersangka pada Sabtu (25/9/2021) dini hari.

Azis menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara yang ditangani oleh KPK di Kabupaten Lampung Tengah.

"Tim penyidik melakukan penahanan kepada tersangka selama 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 24 September 2021 sampai dengan 13 Oktober 2021 di Rutan Polres Metro Jakarta Selatan," ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (25/9/2021).

Azis disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Politisi Partai Golkar itu diduga memberikan uang pelicin sebesar Rp 3,1 miliar kepada mantan penyidik KPK Stepanus Robin untuk mengurus perkara di Lampung Tengah yang menyeret namanya dan kader Partai Golkar lainnya, Aliza Gunado, yang tengah diselidiki KPK.

Lantas, apa beda suap dengan gratifikasi?

Baca juga: Profil Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR yang Ditahan KPK, Hartanya Rp 100 Miliar

Gratifikasi

Dilansir dari buku panduan "Pengenalan Gratifikasi" pada laman kpk.go.id, gratifikasi merupakan adalah semua pemberian yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara (Pn/PN).

Oleh karena itu gratifikasi memiliki arti yang netral, sehingga tidak semua gratifikasi merupakan hal yang dilarang atau sesuatu yang salah.

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Hal tersebut sesuai penjelasan Pasal 12B Undang-Undang (UU) No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Baca juga: Sebelum Diciduk KPK, Bupati Banjarnegara Pernah Sebut Upahnya Terlalu Kecil, Berapa Gaji Bupati?

Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin ditahan usai diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (25/9/2021). Ia menjadi tersangka dugaan kasus suap dana alokasi khusus (DAK) di Lampung Tengah.KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin ditahan usai diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (25/9/2021). Ia menjadi tersangka dugaan kasus suap dana alokasi khusus (DAK) di Lampung Tengah.

Mengapa gratifikasi dilarang?

Gratifikasi pada dasarnya adalah "suap yang tertunda" atau sering juga disebut "suap terselubung".

Pn/PN yang terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi.

Gratifikasi tersebut dilarang karena dapat mendorong Pn/PN bersikap tidak obyektif, tidak adil, dan tidak profesional. Sehingga Pn/PN tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Undang-undang menggunakan istilah "gratifikasi yang dianggap pemberian suap" untuk menunjukkan bahwa penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Baca juga: 4 Fakta soal Firli Bahuri, Ketua KPK yang Dinyatakan Pernah Lakukan Pelanggaran Berat

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com