Menurut Saija, baju pesanan Presiden merupakan baju sehari-hari masyarakat Baduy.
Saija mengemukakan penggunaan iket atau lomar warna biru sebagai pralambang luhur soal ikatan atau persatuan.
Sebagai satu bangsa, kita saling terikat, bersatu untuk ketenteraman, kesejahteraan dan kesuburan.
Iket atau lomar yang dikenakan warga Baduy dan kini dikenakan Presiden adalah lambang dan pernyataan perikatan dan persatuan itu.
Di luar makna atau lambang yang dinyatakan, jika lebih dalam melihat, kearifan hendak dinyatakan dengan baju yang dikenakan masyarakat Baduy.
Menurut pendiri Youth Laboratory Indonesia Mohammad Faisal, kearifan itu tetap relevan untuk dijadikan pijakan di tengah banyak pilihan yang menggugat kemerdekaan kita.
Warga Baduy mengenakan pakaian sesuai fungsi untuk menunjang aktivitas yaitu ke ladang atau melakukan perjalanan jauh.
Pijakan ini berbeda dengan kecenderungan kita akhir-akhir ini. Dengan ilusi kebebasan yang kita miliki, kita memilih dan mengenakan pakaian sebagai tanda.
Karena mengejar tanda, harga lantas tidak terperi. Makin menandakan sesuatu, makin mahal harganya untuk fungsi yang mungkin sama saja melindungi tubuh.
Ada soal etika dan tanggung jawab terhadap lingkungan dalam proses produksi baju warga Baduy.
Sebuah kearifan yang mulai mengemuka akhir-akhir ini di industri busana dunia setelah sebelumnya sangat ekploitatif terhadap tenaga kerja dan lingungan.
Baju Baduy yang itu-itu saja dari sisi desain yang mengikuti fungsi dan warnanya, mengajarkan soal kesederhanaan.
Percakapan soal baju Baduy yang dikenakan Presiden Jokowi di panggung tertinggi kenegaraan dapat dimaknai sebagai ajakan untuk hidup dalam kesederhanaan ini.
Kita diajak untuk melihat hasrat material dan menahannya agar tidak makin konsumtif di tengah kemudahan untuk berperilaku konsumtif karena rayuan digital.
Oya, soal rayuan untuk konsumtif, mengejar tanda bukan fungsi, minggu lalu kita dibuat heboh karena rencana pengadaan pakaian dinas anggota DPRD Kota Tangerang, Banten.
Dilansir dari data laman https://lpse.tangerangkota.go.id/, anggaran pengadaan pakaian dinas tahun 2021 naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Anggaran pengadaan pakaian tahun 2021 mencapai Rp 675 juta. Anggaran pengadaan pada tahun 2020 hanya Rp 312,5 juta.
Empat merek sebagai tanda disebut untuk anggaran ini yaitu Louis Vuitton untuk pakaian dinas harian (PDH), Lanificio Di Calvino untuk pakaian sipil resmi (PSR), dan Theodoro untuk pakaian sipil harian (PSH), dan Thomas Crown untuk pakaian sipil lengkap (PSL).
Tapi, saya tidak yakin hal ini. Pertama, tidak yakin mereka mengikuti sidang tahunan. Kedua tidak yakin mereka membawa hatinya ketika mengikuti sidang tahunan ini.
Beruntung kehebohan warga akhirnya membatalkan rencana anggaran pengadaan pakaian dinas ini. Tetapi, pembatalan ini lahir karena tekanan, karena paksaan, karena ketakutan.