Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnu Nugroho
Pemimpin Redaksi Kompas.com

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

Pesan dari Baju Baduy, Tas LV Ibu Menteri, dan Mural yang Dirobohkan

Kompas.com - 17/08/2021, 09:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pembatalan anggaran pengadaan pakaian dinas lahir bukan karena kemerdekaan dalam memilih untuk berperilaku lebih sederhana, berperilaku seperti rakyat yang diwakilinya.

Entah sampai kapan kita menjalani kutukan ini. Mendapati wakil rakyat atau pejabat yang kerap tidak memiliki hati dalam wujud empati kepada rakyat yang diwakili dan harusnya dilayani.

Ketiadaan hati dalam wujud empati bukan terjadi kali ini saja. Tahun 2008, saya mendapati dengan mata dan kepala sendiri.

Seorang menteri tengah menenteng tas merek LV saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato mengampanyekan mencintai produk-produk dalam negeri.

Tas kemudian ditutup syal saat kampanye diserukan dalam rapat kabinet. Menteri yang tahu diri untuk mencegah orang mengasosiasikan bedanya perkataan dan perbuatan.

Kampanye yang lantang disuarakan ternyata tidak diwujudkan dalam keseharian. Menteri yang sama, di hari berikutnya di Istana Kepresidenan memakai merek-merek lain yang pasti bukan produk dalam negeri.

Juga soal alas kaki. Tak satu pun merek dalam negeri dikenakan para pejabat yang hampir setiap hari meminta rakyat mengenakan produk-produk dalam negeri.

Sedikit perubahan terjadi ketika wartawan mempersoalkan dan menunjukkan merek-merek alas kaki pejabat negeri saat dilepas untuk kegiatan keagamaan.

Bukan mengganti alas kaki dengan merek dalam negeri seperti yang dikampanyekan, para pejabat meminta ajudan membungkus alas kaki dengan kantong kresek supaya merek asingnya tidak dikenali.

Sungguh respons yang membuat geli selain antipati. 

Tetapi, inilah cermin negeri ini. Banyak kekacauan terjadi karena tidak satunya kata dan perbuatan di hampir semua tingkatan.

Banyak yang ngomongnya begini, nyatanya begitu. Kata dan perbuatan tidak satu.

Tidak heran jika rakyat berteriak mengingatkan. Tembok-tembok meratapkan kegelisahan.

Pejabat yang punya hati layak untuk mendengarkan. Bukan berlomba-lomba menghapus atau merobohkan tembok-tembok berisi peringatan dan ratapan kegelisahan.

Tahun 2010 hal itu terjadi. Situasinya mirip hari-hari belakangan ini. Sebuah mural di sisi timur Pasar Beringharjo berisi teriakan kegelisahan dan kegigihan rakyat kebanyakan dihapus dan dirobohkan.

Kita tidak ingin ini kembali terulang: pernyataan kegelisahan lewat mural, penghapusan dan perobohan mural ketika itu dinyatakan dan belum didengarkan.

Agar tidak terulang, mari dengan rendah hari saling mendengarkan. Menangkap kegelisahan yang disuarakan di balik tembok-tembok yang membatasi tersampainya pesan.

Salam kemerdekaan,

Wisnu Nugroho

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com