Adapun pada kasus Pinangki, pihaknya menilai keringanan hukuman karena alasan Pinangki masih memiliki anak kecil menurutnya alasan tersebut tidak sebanding dengan alasan yang memberatkannya, di mana status Pinangki adalah seorang aparat penegak hukum namun justru melakukan perbuatan melanggar hukum.
Akibat dari perbuatan Pinangki, menurutnya telah merusak sistem hukum, kepercayaan masyarakat, dan merusak kewibawaan lembaga penegak hukum.
Bahkan seandainya Pinangki tak dicegah sebelumnya, maka ia berisiko meloloskan buron negara dan meloloskan ratusan miliar rupiah.
Baca juga: Membandingkan Tuntutan Hukum Kasus Jaksa Pinangki dengan Kasus Pencurian
Sementara itu, faktor kedua yang menyebabkan adanya tren diskon hukuman terpidana korupsi adalah tak bisa diandalkannya KPK untuk saat ini di bawah kepemimpinan Firly Bahuri yang ditunjukkan tak adanya kasus strategis yang ditangani KPK, dan berkurangnya OTT.
“Dan juga dibarengi adanya revisi UU KPK yang telah membuat KPK jadi tak efektif dalam memberantas korupsi,” ungkapnya.
Pihaknya menyebut, seharusnya KPK dapat men-triger lembaga-lembaga hukum di bawahnya seperti aparat kepolisian dan kejaksaan agar lembaga-lembaga penegak hukum dapat melakukan pemberantasan korupsi secara lebih efektif dengan terlebih dahulu melakukan pembenahan internal dan pembersihan internal.
“Padahal tujuan KPK untuk men-triger tapi ini triger-nya tak ada lagi sehingga kehilangan arah pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga saya melihat melemahnya pemberantasan korupsi itu tak hanya sekedar memengaruhi buruknya kinerja KPK tapi juga berpengaruh pada lembaga-lembaga penegak hukum lain,” ungkapnya.
Baca juga: Saat KPK dan Kejagung Berebut Menangani Kasus Jaksa Pinangki...