Kemudian, di bagian tepinya cukup tipis dan disusun oleh butir-butir air atau kristal es mikro. Ketika itu, terjadi difraksi cahaya.
Marufin menjelskan, saat cahaya produk difraksi diteruskan ke Bumi hingga mencapai mata pengamat, maka akan terlihat sebagai warna-warna pelangi.
Kemunculan warna pelangi, ditentukan dengan ukuran kristal es.
"Jika butir-butir kristalnya lebih besar, maka yang akan terbentuk adalah fenomena halo (lingkaran cahaya)," ujar Marufin.
Perlu diketahui, kata Marufin, fenomena cloud irisdence berbeda dengan fenomena pelangi api.
Ia menjelaskan, pelangi api bukan fenomena langit karena sejatinya pelangi api terjadi dalam atmosfer Bumi saja.
"Pelangi api terjadi lewat mekanisme serupa dengan enomena Halo Matahari, yakni pembiasan cahaya Matahari oleh butir-butir es mikro berstruktur heksagonal lempeng yang ada di awan tinggi seperti Awan Cirrus," ujar Marufin.
"Jadi proses pembentukannya mirip pelangi. Hanya saja pada pelangi, posisi Matahari ada di belakang kita sementara tetes-tetes hujan ada di depan kita," lanjut dia.
Selanjutnya, berkas cahaya Matahari dibiaskan oleh tetes-tetes air hujan itu lalu dipantulkan sempurna sehingga arahnya berkebalikan dibanding arah datangnya cahaya Matahari.
Proses itu membentuk busur cahaya setengah lingkaran yang dilengkapi komponen warna pelangi.
Dari penjelasan tersebut, Marufin mengungkapkan, fenomena cloud irisdence tidak terjadi karena faktor gempa.
Fenomena langit itu muncul pada siang hari dan adanya tebaran awan dengan pucuk tinggi seperti awan cumulus/altocumulus di area Jawa bagian tengah dan timur.
"Kalau faktor ini tidak ada, barulah kita berpkir mungkin terkait dengan gempa. Karena faktor ini ada dan itu lebih sering terjadi, maka hubungan dengan gempa tidak bisa ditarik," ujar Marufin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.