Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pukat UGM Nilai UU Cipta Kerja Tak Terbuka dan Perbesar Potensi Korupsi

Kompas.com - 07/10/2020, 12:30 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Jihad Akbar

Tim Redaksi

KOMPAS.com -Keputusan DPR bersama pemerintah mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi sebuah undang-undang pada rapat paripurna, Senin (5/10/2020), mengundang banyak kontroversi.

Selain dinilai lebih banyak menguntungkan pengusaha dan merugikan bagi kalangan pekerja, UU ini juga dinilai memiliki kekurangan dalam proses penyusunannya.

Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai kekurangan ini adalah tidak adanya transparansi dalam proses pembentukannya.

 

Dalam proses pembentukannya, Pukat UGM menyebut UU Cipta Kerja dibuat dengan cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik.

"Jika merujuk pada asas-asas formal yang digunakan sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, RUU ini tidak memenuhi asas keterbukaan Pasal 5 UU 12/2011 jo UU Nomor 15/2019," peneliti Pukat UGM, Zaenurrahman, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (6/10/2020).

Baca juga: Serikat Guru Ikut Kecam UU Cipta Kerja, Ada Apa?

Semestinya, ia mengatakan, dalam proses pembentukan undang-undang prinsip keterbukaan ini diterapkan di semua tahapan.

Yakni mulai sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pembahasan, pengesahan/penetapan, hingga pengundangan.

Sementara, Zaenurrahman mengatakan yang terjadi pada proses penyusunan RUU Cipta Kerja ini tidak demikian.

"Perkembangan draft pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses publik. Selain itu, rapat-rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sering kali berlangsung tertutup," menurutnya.

Di sisi lain, menurutnya proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta justru banyak melibatkan partisipasi pihak pengusaha.

Ini membuat UU Cipta Kerja sarat akan potensi disusupi kepentingan pihak tertentu yang hanya menguntungkan kelompoknya.

Selain tidak transparan, Pukat UGM juga mencatat UU Cipta Kerja tak mencerminkan simplifikasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan, sebagaimana menjadi tujuan pembuatan omnibus law ini.

Baca juga: Disahkan DPR, Adakah Cara Membatalkan UU Cipta Kerja?

"RUU ini membutuhkan ratusan peraturan pelaksana. Jumlah itu belum termasuk dengan potensi kelahiran 'anak-anak' peraturan pelaksana di bawahnya," ujar Zaenurrahman.

Hal lain yang menjadi catatan Pukat UGM, UU Cipta Kerja banyak memberikan kewenangan pada pemerintah pusat.

Menurutnya, besarnya kewenangan itu berbanding lurus dengan membesarnya potensi tindak pidana korupsi.

"Banyaknya pemberian kewenangan kepada pemerintah pusat di dalam Rancangan UU Cipta Kerja rentan terhadap potensi tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pemusatan kewenangan pada presiden (president heavy) dapat menyisakan persoalan tentang bagaimana memastikan control terhadap kekuasaan presiden itu," ungkapnya.

Baca juga: Ragam Reaksi Pengesahan UU Cipta Kerja, dari Kecewa hingga Apresiasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Jaringan Sempat Eror Disebut Bikin Layanan Terhambat, BPJS Kesehatan: Tetap Bisa Dilayani

Jaringan Sempat Eror Disebut Bikin Layanan Terhambat, BPJS Kesehatan: Tetap Bisa Dilayani

Tren
Seekor Kucing Mati Setelah Diberi Obat Scabies Semprot, Ini Kronologi dan Penjelasan Dokter Hewan

Seekor Kucing Mati Setelah Diberi Obat Scabies Semprot, Ini Kronologi dan Penjelasan Dokter Hewan

Tren
Riwayat Kafe Xakapa di Lembah Anai, Tak Berizin dan Salahi Aturan, Kini 'Tersapu' oleh Alam

Riwayat Kafe Xakapa di Lembah Anai, Tak Berizin dan Salahi Aturan, Kini "Tersapu" oleh Alam

Tren
Video Viral Detik-detik Petugas Damkar Tertabrak hingga Kolong Mobil

Video Viral Detik-detik Petugas Damkar Tertabrak hingga Kolong Mobil

Tren
Izin Paytren Aset Manajemen Dicabut OJK, Ini Alasannya

Izin Paytren Aset Manajemen Dicabut OJK, Ini Alasannya

Tren
Kelas BPJS Kesehatan Dihapus, Kemenkes Sebut KRIS Sudah Bisa Diterapkan

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus, Kemenkes Sebut KRIS Sudah Bisa Diterapkan

Tren
Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Tren
Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Tren
Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Tren
Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Tren
Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Tren
Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Tren
Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Tren
Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Tren
Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com