Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Pandemi dan Relasi Manusia dengan Lingkungan yang Harus Diperbaiki

Kompas.com - 21/08/2020, 15:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PANDEMI menjadi salah satu efek eksploitasi terhadap alam yang berkepanjangan. Sudah cukup lama para ahli memperingatkan hal ini.

Terhitung sejak sejak akhir abad kesembilan belas, sesungguhnya manusia telah menyadari bahwa perubahan iklim mempengaruhi munculnya penyakit pandemi, bahkan sebelum agen infeksinya ditemukan (McMichael, et all:2003).

Sebenarnya, banyak tanda-tanda kerusakan alam oleh manusia yang mudah dikenali. Mulai dari intensitas banjir yang meningkat, alih fungsi hutan menjadi pemukiman atau industri, perkebunan monokultur, hingga kekeringan air yang menyebabkan manusia bermigrasi ke tempat lain.

Eksploitasi alam pun, tidak hanya terkait dengan vegetasi tumbuhan saja. Binatang pun menjadi bagian dari alam yang ikut ditindas dari habitat aslinya. Binatang liar, yang tanpa diketahui masyarakat awam seringkali membawa patogen, kini semakin terekspos oleh manusia.

Banyak diketahui, binatang-binatang liar yang langka, yang idealnya dikembalikan ke tempat aslinya, malah dipelihara, bahkan diolah menjadi makanan. Semua itu dilakukan oleh makhluk hidup yang tidak lain adalah kita, manusia.

Perubahan iklim

Di Indonesia, isu mengenai perubahan iklim (climate change) mungkin tidak seksi. Media mainstream lebih tertarik mengulas seputar konflik sosial populer.

Padahal, exposure informasi mengenai dampak perubahan iklim sangatlah penting. Bagaimana tidak? Dampak perubahan iklim menyangkut hidup kita di masa depan. Melibatkan hajat hidup generasi mendatang. Peristiwa cuaca ekstrem dapat membantu menciptakan peluang lebih besar untuk munculnya wabah penyakit (Haines, et all. 2000).

Eksploitasi terhadap alam adalah dosa besar yang sayangnya tidak disadari oleh sebagian besar umat manusia. Sifat alam yang memberi, sama seperti kasih seorang Ibu yang “hanya memberi, tak harap kembali”.

Barangkali itu sebabnya alam mendapatkan terminologi mother nature, atau mother earth. Karena bak seorang Ibu, alam tidak meminta lebih dari manusia yang telah diberikan sumber daya dengan cuma-cuma.

Layaknya kebanyakan Ibu yang ingin anaknya tumbuh menjadi manusia yang bermanfaat, alam mungkin hanya menginginkan manusia tumbuh dengan menjaga keseimbangan antar sesama makhluk hidup.

Tidak sulit menemukan penelitian ilmiah yang memaparkan bahwa pemanasan iklim jangka panjang bisa mendukung ekspansi geografis dalam bentuk penyakit menular. Namun agaknya, sulit meyakinkan masyarakat akan hal ini.

Di Amerika, hanya 59 persen masyarakatnya yang percaya bahwa perubahan iklim adalah ancaman nyata (Pew Research:2018). Sebagai negara maju, Amerika memang dirunding krisis identitas.

Presidennya sendiri, Donald Trump saja juga terang-terangan tidak percaya terhadap ancaman perubahan iklim. Trump menyebutnya sebagai hoaks.

Lantas Indonesia sendiri, ada 56 persen masyarakatnya yang percaya bahwa climate change adalah ancaman serius untuk kehidupan umat manusia. Angka yang cukup besar untuk sebuah negara berkembang dengan paparan yang kurang terhadap pendidikan lingkunan.

Namun angka tersebut menjadi tidak berarti bila kita mengingat Indonesia adalah salah satu negara dengan sumber keanekaragaman hayati terbesar di dunia.

Keanekaragaman hayati mengacu pada semua jenis tumbuhan, hewan dan jasad renik (mikroorganisme) yang ada di bumi. Kondisi panas yang dipicu oleh perubahan iklim secara terus-menerus akan mengantarkan pada kepunahan spesies hewan dan tumbuhan yang hidup.

Penetrasi media digital

Di sisi lain, penetrasi media digital membawa tantangan lain, yaitu mengindahkan ilmu pengetahuan.

Di berbagai media sosial, baik di Indonesia atau luar negeri, masyarakat luas menemukan kepuasan baru. Yaitu dengan lebih mempercayai public figure dengan ocehan sorenya yang berkelakar tanpa basis ilmu pengetahuan yang memadai.

Dengan jumlah pengikut di media sosial yang masif, sebenarnya para figure bisa menyadari posisi mereka yang strategis untuk melakukan kampanye peduli terhadap perubahan iklim.

Meski sayangnya, dari ratusan influencer yang banyak didengar dan percaya itu, mungkin hanya hitungan jari yang peduli dan membagikan informasi mengenai ini.

Peneliti University of Wisconsin-Madison Prof Song Jin, dalam tulisannya di jurnal American Chemical Society, mengajak masyarakat untuk kembali ke jalur yang benar, yaitu dengan lebih mempertimbangkan hasil penelitian daripada asumsi-asumsi tanpa dasar yang beredar luas.

Sains dan fakta adalah penting. Untuk Covid-19 dan perubahan iklim, mengabaikan bukti ilmiah yang berkembang dan berpura-pura bahwa seseorang bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat, tidak akan membantu kita dan tidak dapat menyelamatkan kita dari konsekuensinya.

Semua fakta akan datang dan membuktikan sendiri, tidak peduli apa yang kita yakini. Ini hanya masalah waktu: beberapa minggu dalam kasus Covid-19, atau mungkin beberapa dekade dalam kasus perubahan iklim.

Sekarang adalah waktu di mana fakta dan sains yang harus diprioritaskan, karena kesehatan kita dan kesejahteraan manusia bergantung pada fakta dan sains. Membuat keputusan rasional berdasarkan pada sains dan fakta adalah senjata terbaik kita melawan musuh kita bersama (Song Jin: 2020)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Bukan Segitiga Bermuda, Ini Jalur Laut Paling Berbahaya di Dunia

Bukan Segitiga Bermuda, Ini Jalur Laut Paling Berbahaya di Dunia

Tren
7 Pilihan Ikan Tinggi Fosfor, Sehatkan Tulang tapi Perlu Dibatasi Penderita Gangguan Ginjal

7 Pilihan Ikan Tinggi Fosfor, Sehatkan Tulang tapi Perlu Dibatasi Penderita Gangguan Ginjal

Tren
Film Vina dan Fenomena 'Crimetainment'

Film Vina dan Fenomena "Crimetainment"

Tren
5 Efek Samping Minum Kopi Susu Saat Perut Kosong di Pagi Hari

5 Efek Samping Minum Kopi Susu Saat Perut Kosong di Pagi Hari

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah Indonesia Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang 24-25 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah Indonesia Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang 24-25 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Pencairan Jaminan Pensiun Sebelum Waktunya | Prakiraan Cuaca BMKG 24-25 Mei

[POPULER TREN] Pencairan Jaminan Pensiun Sebelum Waktunya | Prakiraan Cuaca BMKG 24-25 Mei

Tren
Rumput Lapangan GBK Jelang Kualifikasi Piala Dunia usai Konser NCT Dream Disorot, Ini Kata Manajemen

Rumput Lapangan GBK Jelang Kualifikasi Piala Dunia usai Konser NCT Dream Disorot, Ini Kata Manajemen

Tren
Bukan UFO, Penampakan Pilar Cahaya di Langit Jepang Ternyata Isaribi Kochu, Apa Itu?

Bukan UFO, Penampakan Pilar Cahaya di Langit Jepang Ternyata Isaribi Kochu, Apa Itu?

Tren
5 Tokoh Terancam Ditangkap ICC Imbas Konflik Hamas-Israel, Ada Netanyahu

5 Tokoh Terancam Ditangkap ICC Imbas Konflik Hamas-Israel, Ada Netanyahu

Tren
Taspen Cairkan Gaji ke-13 mulai 3 Juni 2024, Berikut Cara Mengeceknya

Taspen Cairkan Gaji ke-13 mulai 3 Juni 2024, Berikut Cara Mengeceknya

Tren
Gaet Hampir 800.000 Penonton, Ini Sinopsis 'How to Make Millions Before Grandma Dies'

Gaet Hampir 800.000 Penonton, Ini Sinopsis "How to Make Millions Before Grandma Dies"

Tren
Ramai soal Jadwal KRL Berkurang saat Harpitnas Libur Panjang Waisak 2024, Ini Kata KAI Commuter

Ramai soal Jadwal KRL Berkurang saat Harpitnas Libur Panjang Waisak 2024, Ini Kata KAI Commuter

Tren
Simak, Ini Syarat Hewan Kurban untuk Idul Adha 2024

Simak, Ini Syarat Hewan Kurban untuk Idul Adha 2024

Tren
BMKG Keluarkan Peringatan Dini Kekeringan di DIY pada Akhir Mei 2024, Ini Wilayahnya

BMKG Keluarkan Peringatan Dini Kekeringan di DIY pada Akhir Mei 2024, Ini Wilayahnya

Tren
8 Bahaya Mencium Bayi, Bisa Picu Tuberkulosis dan Meningitis

8 Bahaya Mencium Bayi, Bisa Picu Tuberkulosis dan Meningitis

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com