KETIKA berbulan-bulan mengurung diri di dalam rumah gegara prahara Corona, saya memperoleh waktu cukup berlimpah untuk menelaah aneka-ragam fenomena kehidupan. Termasuk apa yang disebut sebagai paradoks.
Sama halnya dengan apa yang disebut sebagai kasih-sayang, keliru, humor, malu, bahagia, kemanusiaan dan lain-lain, pada hakikatnya apa yang disebut paradoks merupakan sesuatu zat atau entah apa yang dapat saya rasakan maknanya namun tidak pernah mampu mendefinisikannya. Apalagi secara sempurna.
Mohon dimaafkan kerendahan daya pikir masih dilengkapi kedangkalan daya tafsir saya sebagai manusia yang hanya sempurna dalam ketidak-sempurnaan belaka.
Maka silakan Anda mencari di narasumber yang jauh lebih berwenang misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memaknakan paradoks sebagai “pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran”.
Meski tentu saja masih bisa diperdebatkan namun sebaiknya jangan membelah titian serambut menjadi tujuh puluh tujuh koma tujuh agar saya bisa lanjut menulis naskah ini.
Dalam ceramah legendaris di TIM 16 April 1997, mahabudayawan Mochtar Lubis sempat menghebohkan masyarakat Indonesia dengan pernyataan bahwa manusia Indonesia munafik.
Sebenarnya pernyataan itu dapat saya yakini kebenarannya apabila beliau bukan orang Indonesia.
Namun akibat Mochtar Lubis adalah orang Indonesia maka pernyataan beliau bahwa orang Indonesia munafik menjadi paradoksal.
Pernyataan seorang Indonesia bahwa orang Indonesia munafik langsung menjadi sulit dipercaya sebab diungkapkan oleh seorang Indonesia bahwa orang Indonesia munafik.
Paradoks rawan makin ruwet berlapis mumet apabila pembahasan berlanjut pada fakta bahwa saya yang menulis naskah ini kebetulan juga orang Indonesia maka berarti saya juga munafik dalam penulisan saya tentang pernyataan Mochtar Lubis bahwa orang Indonesia munafik padahal beliau orang Indonesia sama halnya dengan saya sendiri juga orang Indonesia.
Dan seterusnya dan selanjutnya bisa diperdebatkan sampai akhir zaman.
Saya juga tidak mampu mendefinisikan makna paradoks Rahwana yang jumawa merasa dirinya maha kuasa ditantang membuat sebuah batu yang sedemikian berat sehingga Rahwana sendiri tidak kuasa mengangkat batu supra berat itu.
Mungkin Rahwana memang maha kuasa maka kuasa menciptakan sebuah batu yang sangat amat berat. Namun mustahil Rahwana mampu membuat sebuah batu supra berat sedemikian supra berat sehingga diri Rahwana sendiri yang konon maha kuasa ternyata tidak kuasa mengangkat batu supra berat itu.
Fakta ketidak-kuasaan Rahwana mengangkat batu sedemikian berat yang diciptakan Rahwana sedemikian berat sehingga dirinya tidak kuasa mengangkat batu supra berat ciptaan dirinya sendiri itu secara paradoksal menggugurkan anggapan bahwa Rahwana maha kuasa.
Novel “Animal Farm” mahakarya George Orwell pada hakikatnya mengungkap paradoks politik perebutan kekuasaan.