Melansir History, peristiwa ini kembali memunculkan perdebatan tentang bahaya yang ditanggung para pemandu pendakian.
Selain memanggul sebagian besar persediaan untuk ekspedisi, Sherpa bertanggung jawab untuk tugas-tugas seperti mengatur jalur tali dan tangga untuk pendaki.
Peristiwa itu juga membuka mata dunia terkait komersialisasi yang berlebihan dari Everest, karena kerap padatnya pendaki selama musim pendakian gunung pada musim semi dan tumpukan sampah yang telah menjadi pemandangan umum.
Lebih dari 4.000 pendaki gunung telah mendaki hingga puncak Everest sejak 1953.
Puncak Everest pertama kali ditaklukkan oleh pendaki Selandia Baru, Sir Edmund Hillary, dan sherpa Tenzing Norgay.
Hampir 250 pendaki tewas dalam upaya mereka mencapai puncak Everest.
Rute yang mereka tempuh adalah rute yang sama yang menyebabkan 16 sherpa tersebut terhantam longsor.
Insiden terburuk yang pernah terjadi di Everest adalah ketika terjadi badai salju pada 11 Mei 1996 yang mengakibatkan tewasnya delapan pendaki.
Enam Sherpa juga tewas ketika terjadi longsor pada 1970.
Pada awal 2014, Nepal mengumumkan beberapa kebijakan untuk mengatur para pendaki yang terus mengunjungi Everest dalam jumlah besar dan mempercepat operasi penyelamatan.
Langkah tersebut termasuk mengirim para pejabat terkait dan personel keamanan ke base camp Everest di ketinggian 5.300 mdpl.
Setelah tragedi yang terjadi pada 18 April 2014, para Sherpa memboikot rencana pendakian di musim tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada 16 Sherpa yang meninggal dunia.
Selain itu, sebagai aksi untuk menyuarakan protes terkait upah dan kesejahteraan para Sherpa. Akibatnya, sejumlah agen ekspedisi komersial membatalkan rencana pendakian mereka.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Letusan Hebat Gunung Tambora yang Mengubah Dunia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.