Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Perbedaan Penanganan Wabah Virus Corona di Asia dan Eropa

Kompas.com - 22/03/2020, 13:44 WIB
Vina Fadhrotul Mukaromah,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Jumlah kasus virus corona di dunia telah mencapai lebih dari 300.000 kasus. Wabah ini telah dilaporkan di lebih dari 160 negara. Adapun jumlah kematian dan pasien sembuh di setiap negara berbeda-beda. Begitu pula dengan kebijakan yang diterapkan untuk menahan penyebarannya.

Dua benua dengan jumlah kasus yang cukup besar adalah Asia dan Eropa. Virus corona atau SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 sendiri pertama kali dideteksi di Wuhan, China, Desember 2019 lau. 

Hingga kini, jumlah kasus yang dilaporkan di daratan China secara akumulatif masih paling banyak. Namun, kasus kematian tertinggi justru berada di Italia.

Longgarnya upaya pencegahan

Melansir The Guardian, kasus virus corona pertama di Taiwan dan Italia hanya berjarak 10 hari. 

Per Minggu (22/3/2020) siang, jumlah kasus yang dilaporkan di Taiwan adalah sebanyak 153 kasus dengan 2 kematian dan 28 pasien telah dinyatakan sembuh.

Sementara, Italia telah mencatatkan 53.578 kasus dengan jumlah kematian mencapai 4.825 kasus dengan 6.072 pasien telah dinyatakan sembuh. 

Baca juga: Memahami Tahapan Pembuatan Vaksin, Bagaimana Prosesnya?

Saat ini, epidemi corona di Italia menjadi yang paling buruk di dunia. Pola eksponensial terjadi pada kasus Covid-19 di Italia setelah berminggu-minggu tidak ada tindakan untuk menahan krisis ini.

Kondisi tersebut pun berulang terjadi di negara-negara barat, mulai dari Spanyol, Perancis, Jerman, Inggris, hingga AS.

Kini, para pemimpin dunia mulai melakukan langkah-langkah yang sebelumnya tidak dilakukan di waktu-waktu lalu. Mereka mengisolasi sepuluh juta orang dari Berlin hingga Madrid dan San Fransisco, serta menghabiskan dana untuk rencana penyelamatan.

Langkah yang lebih cepat harusnya mampu mencegah terjadinya melonjaknya jumlah kasus yang saat ini dialami banyak negara.

Perbedaan langkah

Taiwan, Hong Kong, dan Singapura, yang mengonfirmasi kasus pertamanya sebelum Eropa, bertindak lebih dini dan cepat. Oleh karena itu, ketiganya memiliki jumlah kematian satu digit meskipun jumlah kasus yang dilaporkan telah mencapai ratusan.

Taiwan, yang mana wakil presidennya merupakan ahli epidemiologi, mulai melacak para penumpang yang datang dari Wuhan, segera setelah China memperingatkan jenis pneumonia baru Desember tahun lalu.

Langkah ini diikuti dengan social distancing, peningkatan pengujian, hingga pelacakan kontak.

Sementara, negara-negara barat cenderung belum berbuat banyak di awal wabah selain mengembangkan kapasitas pengujian sederhana. 

"Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah adalah apakah dan kapan harus bertindak atas ancaman kesehatan. Jika Anda bertindak cepat dan wabah tidak seburuk itu, pemerintah akan dikritik karena bereaksi berlebihan. Namun, jika Anda menunggu dan bergerak lambat, pemerintah akan dikritik kurang bereaksi," kata Profesor di University of British Columbia Steve Taylor.

Baca juga: Kilas Balik Saat Wabah Virus H1N1, dari Pandemi hingga Ditemukan Vaksin, Akhirnya Teratasi...

Ada negara-negara yang awalnya memiliki tingkat penyebaran cepat seperti Korea Selatan hingga sempat menjadi negara dengan jumlah infeksi terbanyak di luar China.

Namun, negara ini berhasil mengontrol wabah melalui pengujian ketat dan melacak kontak mereka yang terinfeksi. Setelah itu, infeksi pun mereda, bahkan ketika pada akhirnya wabah menyebar di seluruh Eropa.

Kemampuan Korea Selatan tidak lepas dari pengalaman wabah virus corona sebelumnya seperti MERS pada tahun 2015 dan SARS pada tahun 2002 hingga 2003. Wabah ini juga mempengaruhi Taiwan, Hong Kong, dan wilayah lainnya.

Penyakit-penyakit ini nyaris menyentuh negara-negara barat, termasuk Ebola.

"Orang-orang tidak terlalu baik dalam memperkirakan risiko. Angan-angan, perkiraan sumberdaya yang berlebihan, dan faktor-faktor lain dapat mengaburkan penilaian risiko kita. Ini yang mungkin terjadi selama pandemi saat ini," kata Taylor yang juga penulis buku The Psychologi of Pandemics.

"Saya pikir kita bisa belajar dari kesalahan masa lalu, dan Korea Selatan adalah contoh yang sangat kuat dari itu jika Anda melihat jumlah pengujian yang telah mereka lakukan, dan seberapa cepat mereka dapat memobilisasi," kata Ashley Arabasadi, ketua emeritus KonsorsGlobal Health Security Agenda Consortium

"Kita seharusnya menggunakan waktu itu [pada bulan Januari dan Februari] dengan lebih bijak, tetapi, agar adil, semua orang berurusan dengan hal yang tidak diketahui," kata Laura Spinney, seorang jurnalis sains yang buku terbarunya adalah Pale Rider: The Spanish Flu of 1918 and How it Changed the World.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Penjara Alcatraz Ditutup

Awalnya mungkin pihak berwenang tidak ingin membuat panik, kata dia, tetapi kemudian keseimbangan bergeser sehingga "bahaya terbesar bukanlah panik, tapi merasa aman dan terlalu banyak pemerintah tidak bergerak".

Namun menurut Laura, pelajaran tragis dari krisis awal ini diharapkan tidak dilupakan. Pemerintah perlu berinvestasi dalam sistem perawatan kesehatan, sehingga ketika pandemi berikutnya tiba, bisa lebih siap.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Matahari Tepat di Atas Kabah, Saatnya Cek Arah Kiblat

Matahari Tepat di Atas Kabah, Saatnya Cek Arah Kiblat

Tren
Kekuasaan Sejarah

Kekuasaan Sejarah

Tren
Kisah Alfiana, Penari Belia yang Rela Sisihkan Honor Demi Berhaji, Jadi Salah Satu Jemaah Termuda

Kisah Alfiana, Penari Belia yang Rela Sisihkan Honor Demi Berhaji, Jadi Salah Satu Jemaah Termuda

Tren
Jokowi Luncurkan Aplikasi Terpadu INA Digital, Bisa Urus SIM, IKD, dan Bansos

Jokowi Luncurkan Aplikasi Terpadu INA Digital, Bisa Urus SIM, IKD, dan Bansos

Tren
Biaya UKT Universitas Muhammadiyah Maumere, Bisa Dibayar Pakai Hasil Bumi atau Dicicil

Biaya UKT Universitas Muhammadiyah Maumere, Bisa Dibayar Pakai Hasil Bumi atau Dicicil

Tren
Pegi Bantah Telah Membunuh Vina, Apakah Berpengaruh pada Proses Hukum?

Pegi Bantah Telah Membunuh Vina, Apakah Berpengaruh pada Proses Hukum?

Tren
Singapura Tarik Produk Kacang Impor Ini karena Risiko Kesehatan, Apakah Beredar di Indonesia?

Singapura Tarik Produk Kacang Impor Ini karena Risiko Kesehatan, Apakah Beredar di Indonesia?

Tren
Maskot Pilkada DKI Jakarta Disebut Mirip Kartun Shimajiro, KPU Buka Suara

Maskot Pilkada DKI Jakarta Disebut Mirip Kartun Shimajiro, KPU Buka Suara

Tren
Ramai di Media Sosial, Bagaimana Penilaian Tes Learning Agility Rekrutmen BUMN?

Ramai di Media Sosial, Bagaimana Penilaian Tes Learning Agility Rekrutmen BUMN?

Tren
Batalkan Kenaikan UKT, Nadiem: Kalau Ada Kenaikan Harus Adil dan Wajar

Batalkan Kenaikan UKT, Nadiem: Kalau Ada Kenaikan Harus Adil dan Wajar

Tren
Buntut Pencatutan Nama di Karya Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Dicopot dari Dekan dan Dosen FEB Unas

Buntut Pencatutan Nama di Karya Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Dicopot dari Dekan dan Dosen FEB Unas

Tren
Alasan Nadiem Makarim Batalkan Kenaikan UKT Perguruan Tinggi Tahun Ini

Alasan Nadiem Makarim Batalkan Kenaikan UKT Perguruan Tinggi Tahun Ini

Tren
Cara Melihat Nomor Sidanira untuk Daftar PPDB Jakarta 2024

Cara Melihat Nomor Sidanira untuk Daftar PPDB Jakarta 2024

Tren
Kronologi Balita 2 Tahun di Sidoarjo Meninggal Usai Terlindas Fortuner Tetangga

Kronologi Balita 2 Tahun di Sidoarjo Meninggal Usai Terlindas Fortuner Tetangga

Tren
Sosok Kamehameha, Jurus Andalan Son Goku yang Ada di Kehidupan Nyata

Sosok Kamehameha, Jurus Andalan Son Goku yang Ada di Kehidupan Nyata

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com