Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tahun Baru 2020, Perlukah Ada Resolusi?

Kompas.com - 31/12/2019, 11:11 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Setiap menjelang pergantian tahun Masehi, banyak orang yang merumuskan sederet resolusi tahun baru dan mengecek ulang resolusi tahun sebelumnya, apakah terlaksana atau tidak.

Meski tak semua melakukannya.

Ada yang memang tipikal terorganisasi sehingga merancang segala sesuatu yang harus dicapai, ada pula yang tipikal menjalani mengalir apa adanya.

Semua kembali pada pilihan masing-masing individu. Tetapi, perlukan resolusi tahun baru? Jika ya, apa manfaat dan bagaimana memulainya? 

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Prof. Koentjoro mengatakan, selama ini ada pemahaman yang keliru soal resolusi dengan target yang ingin dicapai.

Ia menekankan, resolusi dan target adalah dua hal yang berbeda. 

"Resolusi itu adalah pemecahan masalah, karena itu resolusi apa pun harus dipilih. Tapi itu pilihan, mau pilih yang mana. Tidak ada resolusi itu juga resolusi," kata Koentjoro, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (31/12/2019).

Berbeda dengan resolusi, keinginan-keinginan yang biasanya dituliskan dalam 'resolusi tahunan' sebenarnya lebih tepat disebut sebagai target atau cita-cita.

"Kalau itu goal, target, kita harus mencerdaskan masyarakat. Setiap orang itu harus punya target, sesuatu yang harus dicapai. How to achieve itu orang harus punya," ujar Koentjoro.

Baca juga: Tahun Baru 2020, 5 Hal Ini Perlu Direnungkan Pelajar dan Mahasiswa

Tips menyusun target

Target harus disusun dengan memerhatikan sejumlah faktor. Artinya, tidak sembarangan menentukan target atau keinginan.

Hal itu penting untuk meminimalisasi kegagalan dan memperbesar peluang keberhasilan.

"Cita-cita harus realistis, bermakna bagi pribadi, menantang. Realistis itu sepadan dengan kemampuan, sepadan dengan usia," kata Koentjoro.

Ia mencontohkan, tidak masuk akal seseorang berusia di atas 60 tahun memiliki target untuk mencapai puncak Everest.

Alasannya, kemampuan fisiknya sudah tidak mendukung untuk itu.

Atau, seseorang yang memiliki penghasilan per bulan di bawah Rp 15 juta, menginginkan membeli mobil Lamborghini atau Roll Royce.

Bukannya tercapai dan membahagiakan, target-target semacam itu hanya akan menyiksa diri karena tidak sesuai dengan kemampuan, terlepas dari adanya faktor keberuntungan.

Koentjoro berpendapat, faktor keberuntungan tidak bisa diandalkan dan dijadikan patokan untuk menentukan target.

"Faktor luck itu jangan diharapkan terlalu banyak. Faktor luck itu Tuhan. Kalau sudah bisa mengerjakan dengan baik, mencintai diri dengan baik, bisa mengerti siapa anda, faktor luck itu akan keluar dengan sendirinya," kata dia.

Akan tetapi, semua itu akan sangat sulit terjadi ketika seseorang tidak mengenal dirinya sendiri dan apa yang ingin didapatkan.

Baca juga:

 

Cara mencapai target

Setelah target-target tersusun, saatnya untuk mencapainya satu per satu. 

Akan tetapi, target yang besar dan tinggi tidak akan mungkin bisa terpenuhi hanya dengan sekali lompatan atau aksi.

Untuk mencapainya, diperlukan batu loncatan agar memudahkan kita sedikit demi sedikit mencapai puncak kesuksesan.

"Kenapa, kalau kita tidak tidak buat batu loncatan, bebannya terlalu berat, terlalu besar, sehingga kita tidak bisa berbuat apa-apa," kata Koentjro.

Dalam proses mencapai target, kata Koentjoro, ada konsep yang disebutnya "Uji dan Ujo".

"Uji itu ya diuji, ujo itu dimanjakan. Jadi kalau misal gagal jangan merasa menyesal, itu adalah ujian. Kamu harus bisa melihat kenapa kamu gagal, kamu evaluasi, kamu coba buat langkah-langkah ke depan seperti apa," ujar dia.

"Kalau kamu berhasil kamu punya pengalaman, hidupmu lebih baik. Kamu diujo, kamu dimanjakan.Tapi ketika kamu dimanjakan, kamu itu diuji. Sebagian besar yang kamu terima adalah milik orang lain, jangan sombong dan sebagainya," lanjut Koentjoro.

Terkait dituliskan atau tidak daftar target dalam kertas atau catatan yang bersifat digital, semua itu tidak terlalu berpengaruh.

Lebih baik memang dituliskan secara fisik, namun semua itu akan sia-sia jika target tidak tertuliskan di dalam hati.

"Namanya cita-cita lebih enak dituliskan di hati kita. Itu niat yang harus kita lakukan. Integritas, bagaimana kita komitmen dengan cita-cita kita. Kalau hanya pemanis bibir semua orang bisa," sebut Koentjoro.

Menurut dia, semua orang harus memiliki cita-cita dan target hidup sebagai bentuk dari menyayangi diri sendiri. 

Mengapa target tidak tercapai?

Jika rancangan target sudah disusun dan coba direalisasikan namun tidak juga tercapai, maka kita harus memperhatikan lagi beberapa hal.

Evaluasi diri sangat dibutuhkan, mungkin target yang terlalu tinggi atau memang diri kita yang masih setengah hati mengusahakannya.

Perhatikan juga hambatan yang bisa datang dari dalam dan luar diri yang memiliki sumbangsih besar pada kegagalan yang kita alami.

"Hambatan dari dalam diri kita apa, ada enggak kita enggak sungguh-sungguh dalam mengerjakan, punya makna enggak buat kita," kata Koentjoro.

"Dari luar kita lihat, pendanaan bagaimana, dukungan dari keluarga bagaimana, itu harus dilihat. Bandingkan dengan apa-apa yang kita pernah sukses dulu, kita tidak selamanya gagal saja, kita pernah sukses. Kita juga belajar, kenapa kita sukses dulu, apa yang terjadi dengan diri kita," lanjut dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com