Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eks Koruptor Bisa Ikut Pilkada, Putusan "Jalan Tengah"?

Kompas.com - 13/12/2019, 10:36 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Akademisi Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Gabriel Lele menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan eks koruptor ikut pilkada setelah 5 tahun menjalani pidana penjara merupakan putusan kompromis.

Hal itu dikatakannya menanggapi putusan MK yang diputuskan pada Rabu (11/12/2019).

Putusan ini merupakan putusan atas uji materi yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Hakim MK menyatakan menerima sebagian permohonan uji materi pasal yang mengatur tentang pencalonan eks narapidana kasus korupsi.

"Jadi, kalau kita lihat dalam politik pemberantasan korupsi, itu sudah lumayan. Ada sedikit langkah maju. Tapi kalau boleh kita bahasakan dengan cara lain itu keputusan MK yang sangat kompromis," kata Gabriel kepada Kompas.com, Kamis (12/12/2019).

Menurut Gabriel, MK mencoba untuk mencari titik keseimbangan antara pegiat anti-korupsi dan politisi.

Baca juga: Janji 9 Parpol Tak Calonkan Eks Koruptor di Pilkada 2020

Dalam praktiknya, para eks koruptor tersebut masih aktif di partai dan mengendalikan anggota Dewan dari partainya.

Gabriel menganggap, putusan MK akan menjadi langkah maju jika eks koruptor juga dilarang menjadi pengurus partai.

"Kalau mau ideal, penegakan hukuman mati dan mencabut sepenuhnya hak-hak politik," ujar Gabriel.

Namun, langkah itu disadarinya akan berbenturan dengan para pegiat hak asasi manusia (HAM).

Menurut Gabriel, pencabutan hak-hak politik para koruptor dan hukuman mati tersebut tentu akan dianggap melanggar HAM.

"Dulu ketika narasi itu muncul, pegiat HAM mengatakan, sifatnya yang namanya hukuman bagi siapa pun itu harus dalam rangka rehabilitasi, bukan hukuman dalam artian menyiksa orang," kata dia.

"Jadi ada aspek HAM-nya juga. mahkamah itu kan mempertimbangkan aspek sosiologis, aspek yuridis," lanjut Gabriel.

Kunci di KPU dan KPUD

Mengenai penerapan putusan MK itu, menurut Gabriel, kuncinya ada di KPU dan KPUD.

Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah memiliki sistem yang terintegrasi antara lapas, KPK, dan KPU.

"Misalnya, ketika pencalonan itu masuk dalam sistem nasional, sehingga ketika ada yang mencalonkan diri, sistem tersebut langsung menolak bagi mereka yang belum lima tahun," papar Gabriel.

"Pengalaman sebelumnya, banyak yang jebol. Artinya, KPUD tidak mempunyai sistem yang memadai untuk mendeteksi mereka yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi," lanjut dia.

Baca juga: Pasca-Putusan MK, Nasdem Tegaskan Tak Akan Calonkan Eks Koruptor di Pilkada

Meski demikian, Gabriel mengapresiasi putusan MK tersebut, meski tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan para pegiat anti korupsi.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi pasal tentang pencalonan mantan narapidana yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Putusan tersebut mengubah bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf g.

Salah satu perubahannya adalah seorang mantan narapidana dapat mencalonkan diri pada pilkada lima tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani pidana penjara.

Salah satu pertimbangan MK adalah keinginan agar calon kepala daerah dipilih melalui persyaratan yang ketat, antara lain bersih, jujur, dan berintegritas.

Selama ini, MK menilai persyaratan pencalonan kepala daerah begitu longgar.

Tak ada aturan khusus bagi calon mantan narapidana, kecuali mengumumkan rekam jejaknya secara terbuka ke publik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Riwayat Kafe Xakapa di Lembah Anai, Tak Berizin dan Salahi Aturan, Kini 'Tersapu' oleh Alam

Riwayat Kafe Xakapa di Lembah Anai, Tak Berizin dan Salahi Aturan, Kini "Tersapu" oleh Alam

Tren
Video Viral Detik-detik Petugas Damkar Tertabrak hingga Kolong Mobil

Video Viral Detik-detik Petugas Damkar Tertabrak hingga Kolong Mobil

Tren
Izin Paytren Aset Manajemen Dicabut OJK, Ini Alasannya

Izin Paytren Aset Manajemen Dicabut OJK, Ini Alasannya

Tren
Kelas BPJS Kesehatan Dihapus, Kemenkes Sebut KRIS Sudah Bisa Diterapkan

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus, Kemenkes Sebut KRIS Sudah Bisa Diterapkan

Tren
Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Tren
Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Tren
Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Tren
Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Tren
Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Tren
Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Tren
Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Tren
Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Tren
Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Tren
Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Tren
BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com