Orang-orang Papua yang akan memberikan suara dalam Pepera 1969 dengan sistem musyawarah juga ditentukan oleh pejabat Indonesia. Pelaksanaannya pun dijaga ketat oleh militer dan polisi Indonesia.
Laporan resmi PBB, Annex1 Paragraf 189-200, menyebutkan bahwa pada 14 Juli 1969, Pepera dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu, kelompok besar tentara Indonesia hadir.
Menurut beberapa reportase kala itu, para wakil warga Papua yang hadir di Pepera adalah mereka yang kerap menerima bantuan.
Dalam proses itu, Ali Moertopo ditugaskan untuk memastikan agar pemungutan suara dihadiri oleh orang Irian yang pro-integrasi. Hasilnya tentu sudah diduga.
Pada Agustus tahun itu, hasil Pepera menunjukkan Irian ingin bergabung dengan Indonesia.
Atas kisah yang kurang terlalu jernih itu, akhirnya dilahirkan opini oleh kelompok pro kemerdekaan Papua bahwa, seolah-olah Papua memiliki hak yang mirip dengan Timor Timur, dengan menganjurkan agar referendum yang sama juga diberikan kepada Papua.
Padahal menurut para pakar hukum internasional Indonesia, pandangan tersebut keliru alias dianggap tidak paham hukum internasional, sehingga tidak bisa membedakan status Papua dan Timor Timur.
Di mata hukum internasional, Timor Timur adalah non-self governing territory yang terdaftar dalam daftar Komite 24 PBB, yang berarti berhak atas penentuan nasib sendiri.
Adapun Papua tidak pernah masuk list PBB karena statusnya sudah menjadi bagian dari NKRI sejak 1945, dan sudah melaksanakan hak penentuan nasib sendiri.
Jika Papua masih diberikan hak menentukan nasib sendiri, ini ibaratnya Papua dilahirkan dua kali.
Tuntutan pengulangan referendum akan bertentangan dengan prinsip utama dalam hukum internasional dan Piagam PBB, yaitu teritorial integrity dan uti possidetis juris.
Yang pertama, pelaksanaan self determination di Papua melalui Pepera telah sesuai dengan prinsip prinsip hukum internasional dan Piagam PBB.
Kedua, masyarakat Papua telah melakukan self determination oleh karena itu status Papua sekarang adalah bagian NKRI.
Tuntutan-tuntutan untuk melakukan pengulangan referendum bertentangan dengan hukum internasional dengan pertimbangan bahwa prinsip self determination dalam konteks dekolonisasi hanya dapat dilakukan satu kali dan tidak bisa berulang ulang.
Jadi rakyat Papua tidak bisa lagi menuntut referendum karena bukan lagi dalam kontek kolonialisme atau non governing territory.
Masyarakat Papua juga tidak memiliki dasar untuk menuntut pengulangan referendum berdasarkan pelanggaran HAM atau pelanggaran hak politik, ekonomi dan sosial mereka karena Indonesia telah memberikan hak-hak dasar tersebut, khususnya dengan memberikan Otonomi Khusus melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penuh bagi Papua dan Papua Barat untuk mengelola secara langsung kedua wilayah tersebut.
Resolusi Majelis Umum PBB 2524 (XXIV) yang mensahkan PEPERA 1969 merupakan keputusan final dari PBB dan tidak bisa dipertentangkan lagi untuk merubah Resolusi tersebut.
Keputusan ini diterima secara mayoritas oleh anggota PBB. Sejarah perkembangan PBB sejak berdiri sampai sekarang, belum pernah terjadi suatu Resolusi Majelis Umum PBB yang telah diputuskan dan disahkan, kemudian diubah atau dipertimbangkan kembali.
Kelompok pro kemerdekaan sejatinnya satu bagian dari beberapa kelompok pergerakan masyarakat ada di Papua.
Berdasarkan hasil analisis Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terdapat beberapa kelompok yang menumpangi protes warga asli Papua dengan isu politik identitas.
Bahkan, corak yang dimainkan nyaris mirip dengan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019. Mereka memainkan isunya masing-masing.
Pertama, ada kelompok massa yang pro kemerdekaan Papua. Kelompok ini bergerak dengan diawali isu antirasialisme yang kemudian diarahkan ke isu kemerdekaan. Kedua, kelompok milisi barisan merah putih dengan semangat Pro-NKRI.
Yang ketiga, kelompok nusantara yang sebagian besarnya pendatang dengan isu perekonomiannya. Dan keempat, kelompok yang tak teridentifikasi. Mereka mendadak ikut-ikutan.