KOMPAS.com - Satu tahun lalu, tepatnya pada 1 Okober 2022, momen kelam sepak bola Tanah Air terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Pintu stadion yang saat itu terkunci menjadi saksi bisu 135 nyawa melayang.
Ratusan orang menumpuk dan berdesak-desakan mencari selamat di balik pintu tersebut. Mereka terperangkap dan panik di tengah kepungan asap gas air mata yang ditembakkan polisi.
Insiden tersebut kemudian dikenal dengan Tragedi Kanjuruhan.
Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir mengaku tak bisa menghilangkan duka para keluarga korban Kanjuruhan meski segala bantuan telah dikerahkan.
"Apa pun yang kami lakukan untuk keluarga yang ditinggalkan, tidak pernah menghilangkan kedukaannya,” ujarnya, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (30/9/2023).
"Saya rasa pemerintah daerah pada saat peristiwa Kanjuruhan itu, ya Bu Khofifah, Pemkab Malang, pemerintah pusat, sudah mendorong bantuan. Saya sebelum jadi ketua PSSI sudah mendorong bantuan,” lanjutnya.
Kilas balik kronologi tragedi Kanjuruhan versi polisi
Tragedi Kanjuruhan terjadi usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya. Derbi Jawa Timur itu berakhir dengan skor 2-3 untuk kemenangan tim tamu.
Pertandingan itu digelar di Stadion Kanjuruhan, Malang pada Sabtu (1/10/2022) pukul 20.00 WIB.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, pertandingan berjalan lancar hingga muncul reaksi suporter di akhir pertandingan.
Sebagian dari penonton merasa tidak terima dengan hasil pertandingan dan masuk ke lapangan.
"Tentunya tim kemudian melakukan pengamanan terhadap ofisial dan pemain Persebaya dengan menggunakan empat kendaraan taktis," kata Listyo, dilansir dari Kompas.com (7/10/2022).
Di lapangan, semakin banyak suporter yang turun dan berhadapan dengan petugas keamanan, polisi, dan TNI.
Polisi kemudian menembakkan gas air mata untuk mencegah semakin banyak suporter yang turun ke lapangan.
Tujuh tembakan diarahkan ke tribun selatan, satu tembakan ke arah tribun utara, dan tiga tembakan ke arah lapangan.
"Tentu ini mengakibatkan para penonton terutama di tribun yang ditembakkan (gas air mata) panik, merasa pedih, dan berusaha meninggalkan arena," ujar Listyo.
Namun, pintu stadion yang seharusnya sudah dibuka 5 menit sebelum pertandingan berakhir masih tertutup sehingga membuat para penonton yang berusaha keluar terjebak.
Vonis para terdakwa tragedi Kanjuruhan
Menyusul peristiwa tersebut, Kapolri mengumumkan enam orang yang dinilai bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa.
Keenam orang yang menjadi tersangka, yakni:
Ketua panpel, direktur PT LIB, dan security officer menjadi tersangka lantaran dinilai abai atas keselamatan penonton.
Sedangkan tiga polisi yang jadi tersangka karena memerintahkan penembakan gas air mata.
Dalam persidangan, majelis hakim memvonis Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris penjara 1,5 tahun. Sedangkan Security Officer Arema FC, Suko Sutrisno dihukum 1 tahun penjara.
Selanjutnya, Danki 1 Brimob Polda Jawa Timur, Hasdarmawan, divonis 1 tahun 6 bulan penjara.
Sementara Kasat Samapta Polres Malang Bambang Sidik Achmadi dan Kabagops Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto dibatalkan vonis bebasnya oleh Mahkamah Agung.
Kejanggalan tragedi Kanjuruan
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan sejumlah kejanggalan dalam pengungkapan kasus Tragedi Kanjuruhan.
Mereka menemukan kejanggalan sebelum dan saat proses peradilan dilakukan.
Dilansir dari Kompas.com, Kamis (28/9/2023), berikut kejanggalan yang ditemukan KontraS:
2. Kejanggalan saat proses peradilan
Menurut KontraS, kejanggalan itu menunjukkan proses hukum di Indonesia gagal mengungkap kebenaran serta melindungi pelaku dalam Tragedi Kanjuruhan.
(Sumber: Kompas.com/Nugraha Perdana, Andhi Dwi Setiawan, Ahmad Zilky | Editor: Andi Hartik, David Oliver Purba, Ferril Dennys).
https://www.kompas.com/tren/read/2023/10/01/083000065/satu-tahun-tragedi-kanjuruhan--kronologi-vonis-para-terdakwa-dan