KOMPAS.com - Kehancuran Pompeii, sebuah kota kuno peninggalan Kekaisaran Romawi, menjadi salah satu bencana alam dahsyat yang pernah menghujam manusia.
Kota yang terletak di Campania, Italia ini terkubur oleh letusan Gunung Vesuvius pada 24 Agustus 79 Masehi.
Meski termasuk situs paling terpelihara dalam sejarah manusia, peneliti masih memperdebatkan bagaimana ribuan orang Pompeii binasa hanya dalam hitungan hari.
Dilansir dari Science, Rabu (23/8/2023), arkeolog University of Bari Aldo Moro, Pierfrancesco Dellino mengatakan, penduduk Pompeii tidak meninggal dalam satu waktu.
Menurutnya, beberapa penduduk kota setidaknya sempat mencoba melarikan diri, tetapi gagal karena abu letusan yang mencekik.
Penelitian baru yang terbit pada PLOS ONE pun membantu memberikan gambaran tentang bagaimana hampir satu kota hangus akibat letusan Vesuvius.
Kematian penduduk Pompeii
Letusan Gunung Vesuvius terjadi dalam dua fase besar, sama-sama menghancurkan Kota Pompeii yang terletak di lereng.
Pada letusan pertama, gunung berapi tersebut memuntahkan gas panas, abu, dan bubuk batu apung yang meruntuhkan atap rumah dan menumbangkan pepohonan.
Korban fase ini diperkirakan mati lemas di tengah gempuran gas dan abu berbahaya yang dimuntahkan Vesuvius.
Meski beberapa penduduk hancur pada letusan pertama, sebagian di antaranya berhasil selamat dan melarikan diri.
Hingga pada fase kedua, Vesuvius mengalami serangkaian gelombang piroklastik, di mana massa abu panas dan lava menyapu sisa-sisa manusia dan bangunan yang tersisa.
Para peneliti juga sepakat bahwa sebagian besar korban Pompeii meninggal pada tahap letusan ini.
"Fase kedua adalah yang paling berbahaya," ujar salah satu penulis studi dan arkeolog dari University of Valencia, Gianni Gallello.
Dikutip dari IFL Science, Kamis (24/8/2023), ada dugaan bahwa para korban mungkin terkena panas serta sambaran petir hingga meninggal.
Bukan hanya itu, cairan tubuh mereka diduga menguap akibat panas hebat dari gelombang piroklastik.
Teori lain juga menyatakan, mereka mungkin meninggal dengan cara lebih mengerikan, yaitu dehidrasi bertahap seiring suhu lingkungan yang meningkat.
Sementara itu, merujuk penelitian dalam jurnal PLOS ONE, gelombang awal gas panas dari letusan gunung dapat mengubah otak manusia menjadi kaca.
Tim internasional yang tergabung dalam penelitian menganalisis sisa-sisa tujuh korban Pompeii menggunakan teknik inovatif bernama fluoresensi sinar-X portabel.
Dari sana, mereka menyimpulkan bahwa ketujuh korban kemungkinan besar meninggal akibat sesak napas.
Tim kemudian mempelajari tujuh gips yang dibuat dengan menuangkan plester atau campuran semen, pasir, kapur, dan air, ke dalam lubang kosong yang ditinggalkan mayat Pompeii.
Dengan menggunakan analisis sinar-X non-invasif, mereka dapat menentukan komposisi tulang korban serta membandingkannya dengan tulang terbakar dari kuburan di Roma dan Valencia.
Kesimpulannya, pembakaran tulang yang ditemukan di Pompeii terjadi setelah para korban meninggal dunia, mirip dengan prosesi kremasi.
"Ketika tulang mereka terkena dampak suhu tinggi yang disebabkan gelombang piroklastik dan arus magma, para korban sudah meninggal, kemungkinan karena menghirup gas beracun," kata penulis penelitian, Llorenc Alapont.
Tidak semua mati dengan cara serupa
Saat ditemukan, beberapa jenazah korban Pompeii tampak menutupi tubuh dengan pakaian yang menunjukkan usaha untuk mencegah abu terhirup dan meninggal karena mati lemas.
Sebelum kematian, orang-orang pun menunjukkan gestur melarikan diri dengan tongkat dari dahan untuk membantu berjalan di atas lapisan batu apung yang berbahaya.
"Para korban, dalam upaya mereka untuk melarikan diri, mati lemas dengan sangat cepat dan juga dengan cepat tertutup abu," jelas Gallello.
Namun, para peneliti menekankan, temuan ini tidak berarti bahwa seluruh 2.000 korban Pompeii meninggal dengan cara seperti itu.
"Kemungkinan besar letusan dahsyat itu membunuh orang dengan cara yang berbeda-beda," tandasnya.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/08/25/160000065/bagaimana-penduduk-pompeii-meninggal-studi-ungkap-kemungkinan-tersedak-abu