Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Itu Toxic Positivity? Berikut Pengertian dan Dampaknya

KOMPAS.com - Toxic positivity merupakan asumsi di mana Anda harus berpikir positif dan menganggap semuanya baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak.

Cara berpikir tersebut menjadi strategi penghindaran yang digunakan untuk mendorong dan menghilangkan ketidaknyamanan internal.

Namun, ketika seseorang menghindari emosinya, justru mereka akan menyebabkan lebih banyak kerugian.

Lantas, apa yang dimaksud dengan toxic positivity dan bagaimana dampaknya? Simak penjelasan berikut ini.

Apa itu toxic positivity

Dilansir dari Healthline, toxic positivity adalah asumsi, baik oleh diri sendiri atau orang lain, bahwa mereka harus berpikir positif, terlepas dari rasa sakit emosional atau situasi sulit yang dialami.

Dengan toxic positivity, emosi negatif dipandang buruk secara inheren. Sebaliknya, kepositifan dan kebahagiaan didorong secara kompulsif.

Ini juga menjadikan pengalaman emosional manusia yang otentik akan ditolak, diminimalkan, atau dibatalkan.

Tekanan untuk selalu tampil “BAIK-BAIK SAJA” membatalkan rentang emosi yang sebenarnya umum dialami semua orang.

Itu memberi kesan bahwa Anda tidak sempurna ketika merasa tertekan, yang dapat terinternalisasi dalam keyakinan inti bahwa Anda tidak mampu atau lemah.

Menilai diri sendiri karena merasakan sakit, sedih, cemburu mengarah pada apa yang disebut sebagai emosi sekunder, seperti rasa malu, yang jauh lebih intens dan maladaptif.

Itu bisa mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang ada, dan akhirnya tidak memberi ruang untuk mengasihani diri sendiri, yang sebenarnya sangat penting bagi kesehatan mental.

Dikutip dari Medical News Today, risiko dari toxic positivity meliputi hal-hal berikut:

1. Mengabaikan bahaya nyata

Sebuah tinjauan naratif tahun 2020 dilakukan terhadap 29 studi tentang kekerasan dalam rumah tangga.

Hasilnya bahwa, bias positif dapat menyebabkan orang yang mengalami pelecehan cenderung meremehkan keparahannya dan tetap berada dalam hubungan yang penuh kekerasan.

Optimisme, harapan, dan pengampunan meningkatkan risiko orang-orang tetap bersama pelaku kekerasan dan menjadi sasaran pelecehan.

2. Meremehkan kehilangan

Duka dan kesedihan adalah hal yang normal saat menghadapi kehilangan. Adanya toxic positivity membuat hal tersebut seolah diremehkan.

Seseorang yang berulang kali mendengar pesan untuk sabar atau tetap bahagia mungkin merasa seolah-olah orang lain tidak peduli dengan rasa kehilangannya.

Orang tua yang kehilangan anak, misalnya, mungkin merasa bahwa anaknya tidak penting bagi orang lain, dan justru menambah kesedihan mereka.

3. Mengisolasi diri

Orang yang merasakan toxic positivity seperti tekanan untuk tersenyum saat menghadapi kesulitan bisa cenderung tidak akan mencari dukungan.

Mereka mungkin merasa terisolasi atau malu dengan perasaan mereka. Stigma juga dapat menghalangi seseorang untuk mencari perawatan kesehatan mental.

4. Masalah komunikasi

Setiap hubungan memiliki tantangan dan toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan tantangan ini, sehingga selalu fokus pada hal positif.

Pendekatan ini dapat menghancurkan komunikasi dan kemampuan untuk memecahkan masalah dalam hubungan.

5. Harga diri rendah

Setiap orang terkadang mengalami emosi negatif dan toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan emosi negatif mereka.

Meskipun menahannya dapat membuat mereka merasa lebih kuat. Karena jika seseorang tidak dapat merasa positif, mereka mungkin merasa seolah-olah gagal.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/07/06/154500965/apa-itu-toxic-positivity-berikut-pengertian-dan-dampaknya

Terkini Lainnya

Presiden Iran Meninggal, Apa Pengaruhnya bagi Geopolitik Dunia?

Presiden Iran Meninggal, Apa Pengaruhnya bagi Geopolitik Dunia?

Tren
Tanda Seseorang Kemungkinan Psikopat, Salah Satunya dari Gerakan Kepala

Tanda Seseorang Kemungkinan Psikopat, Salah Satunya dari Gerakan Kepala

Tren
5 Pillihan Ikan untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Bantu Tubuh Lebih Sehat

5 Pillihan Ikan untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Bantu Tubuh Lebih Sehat

Tren
Apakah Masyarakat yang Tidak Memiliki NPWP Tak Perlu Membayar Pajak?

Apakah Masyarakat yang Tidak Memiliki NPWP Tak Perlu Membayar Pajak?

Tren
BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 21-22 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 21-22 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Kasus Covid-19 di Singapura Naik Hampir Dua Kali Lipat | Ayah dan Anak Berlayar Menuju Tempat Terpencil di Dunia

[POPULER TREN] Kasus Covid-19 di Singapura Naik Hampir Dua Kali Lipat | Ayah dan Anak Berlayar Menuju Tempat Terpencil di Dunia

Tren
Apa Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi di Iran?

Apa Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi di Iran?

Tren
Jadwal dan Susunan Peringatan Waisak 2024 di Borobudur, Ada Festival Lampion

Jadwal dan Susunan Peringatan Waisak 2024 di Borobudur, Ada Festival Lampion

Tren
Berkaca dari Kasus Wanita Diteror Teman Sekolah di Surabaya, Apakah Stalker atau Penguntit Bisa Dipidana?

Berkaca dari Kasus Wanita Diteror Teman Sekolah di Surabaya, Apakah Stalker atau Penguntit Bisa Dipidana?

Tren
Studi Ungkap Obesitas pada Anak Bisa Kurangi Setengah Harapan Hidupnya

Studi Ungkap Obesitas pada Anak Bisa Kurangi Setengah Harapan Hidupnya

Tren
Presiden Iran Ebrahim Raisi Meninggal karena Kecelakaan Helikopter, Siapa Penggantinya?

Presiden Iran Ebrahim Raisi Meninggal karena Kecelakaan Helikopter, Siapa Penggantinya?

Tren
Cara Menambahkan Alamat Rumah di Google Maps, Bisa lewat HP

Cara Menambahkan Alamat Rumah di Google Maps, Bisa lewat HP

Tren
3 Idol Kpop yang Tersandung Skandal Burning Sun

3 Idol Kpop yang Tersandung Skandal Burning Sun

Tren
Spesifikasi Helikopter Bell 212 yang Jatuh Saat Membawa Presiden Iran

Spesifikasi Helikopter Bell 212 yang Jatuh Saat Membawa Presiden Iran

Tren
7 Makanan Obat Alami Asam Urat dan Makanan yang Harus Dihindari

7 Makanan Obat Alami Asam Urat dan Makanan yang Harus Dihindari

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke