Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Setelah Sawit Bukan Tanaman Hutan, Apa Langkah Selanjutnya?

Di era Hasjrul Harahap sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan (1988-1993), tanaman perkebunan yang masuk katagori tanaman kehutanan adalah karet dan hal itu berlaku hingga saat ini.

Ide Yanto Santosa didukung Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) yang dimotori Gulat Manurung dan kawan-kawan, dengan menerbitkan naskah akademik berjudul Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi pada Januari 2022. Salah satu alasan Yanto dan Apkasindo getol menyuarakan sawit sebagai tanaman adalah untuk mementahkan kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan.

Dalam PP Nomor 24/2021 diatur antara lain tentang tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan tetapi tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan. Hal itu dinilai meresahkan bagi sebagian besar kalangan petani kelapa sawit Indonesia yang pada umumnya tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 7 Februari 2022, melalui Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto, merespon dengan cepat usulan naskah akademik tersebut dengan menegaskan bahwa sawit bukanlah tanaman hutan. Penolakan sawit sebagai tanaman hutan didasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis, dan kajian akademik berlapis.

"Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,'' tegas Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto.

Pemerintah saat ini lebih fokus menyelesaikan berbagai persoalan yang telah terjadi sejak beberapa dekade lalu, yang mengakibatkan masifnya ekspansi penanaman sawit di dalam kawasan hutan -sesuatu yang non prosedural dan tidak sah. Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokultur, dan non-prosedural di dalam kawasan hutan itu telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis, dan sosial yang harus diselesaikan.

Karena hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan atau pun untuk kegiatan rehabilitasi. Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan, penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri.

Salah satunya melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry tertentu, disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.

Kebijakan turunan dari Undang-Undanga (UU) Cipta Kerja, yaitu Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit. Jenis tanaman pokok kehutanan untuk hutan lindung dan hutan konservasi harus berupa pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang.

Dalam aturan itu diberlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib diserahkan lagi kepada negara. Untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan produksi diatur bahwa diperbolehkan satu daur selama 25 tahun. Sedangkan yang berada di hutan lindung atau hutan konservasi hanya dibolehkan satu daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar, kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.

Jangka benah wajib dilakukan sesuai tata kelola Perhutanan Sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah.

Pendekatan ultimum remedium diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan.

UU Cipta Kerja juga telah memperjelas bahwa sawit bukan tanaman hutan karena ada proses menghutankan kembali melalui jangka benah. Dengan begitu UU Cipta Kerja telah memosisikan secara jelas bahwa sawit tetap tergolong tanaman perkebunan.

Ruang tanam sawit secara sah sudah ada ruang mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP24/2021 dapat kita kawal bersama agar efektif implementasinya, sehingga hutan bisa lestari dan rakyat tetap sejahtera.

"Badai Baru" dari Uni Eropa

Belum tuntas penyelesaian kebun sawit yang terlanjur masuk dalam kawasan hutan dengan pendekatan prinsip ultimum remedium dalam konflik tenurial kebun sawit di kawasan melalui PP Nomor 24/2021, muncul masalah baru tentang tata kelola sawit di bagian hilir yang terkait langsung dengan bagian hulu.

Masalah tersebut adalah larangan ekspor sawit mentah (CPO) ke Uni Eropa yang tekait dengan produk sawit yang berasal dari kawasan hutan. Padahal, dari seluruh areal sawit di Indonesia yang seluas 14,38 juta ha, KLHK mencatat hingga saat ini terdapat 3,1 -3,2 juta hektare perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. Yayasan Kehati, dalam rapat dengan DPR pada 17 Juni 2021, menyebut 3,4 juta hektar.

Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun itu ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektar, hutan lindung 174.910 hektar, hutan produksi terbatas 454.849 hektar, hutan produksi biasa 1.484.075 hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektar.

Dari 3,1- 3,2 juta ha, jika kita pakai data KLHK, seluas 576.983 ha sedang dalam proses permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta ha, tak memohon izin pelepasan agar legal. Ada dugaan karena hal itu sebagian merupakan perkebunan sawit yang dikuasai rakyat/perorangan. Meskipun KLHK  belum lama ini mengklaim bahwa kebun sawit rakyat di dalam kawasan hutan hanya seluas 12.533 hektar yang tersebar di enam provinsi sentra perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2021.

Komisi Uni Eropa telah menyetujui Undang-Undang Bebas Deforestasi (EUDRR) yang melarang enam komoditas berbasis lahan terkait dengan deforestasi. Komoditas terlarang masuk Eropa jika menyebabkan deforestasi adalah kopi, daging sapi, kedelai, cokelat, karet, dan beberapa turunan minyak sawit.

Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa mewajibkan perusahaan eksportir membuat pernyataan uji tuntas yang menunjukkan bahwa rantai pasokan komoditas tersebut tidak berkontribusi pada perusakan hutan. Jika UU tersebut resmi berlaku, produsen dan pedagang memiliki waktu 18 bulan untuk mematuhinya. Perusahaan lebih kecil punya waktu lebih longgar, yakni 24 bulan untuk beradaptasi.

Jika perusahaan tidak mematuhi aturan tersebut, dendanya hingga 4persem dari omzet perusahaan di negara anggota Uni Eropa.

Menurut Komisi Eropa, undang-undang tersebut akan melindungi setidaknya sekitar 71.920 hektare hutan setiap tahun atau setara dengan 100.000 lapangan sepak bola. Bank Dunia juga memprediksi undang-undang tersebut bisa mengurangi emisi karbon global secara tahunan sebesar 31,9 juta ton per tahun atau setara dengan besaran emisi karbon Denmark pada 2021.

Melansir World Resources Institute dan Global Forest Review, pada 2002 hingga 2020, Indonesia masuk ke dalam jajaran empat negara dengan angka pembabatan hutan tropis terbesar di dunia. Indonesia menduduki urutan kedua, setelah Brasil dengan angka pembabatan hutan tropis mencapai 9,7 juta hektare.

Jika UU Anti Deforestasi berlaku, ekspor minyak sawit mentah Indonesia bisa terdampak. Uni Eropa adalah importir terbesar minyak sawit Indonesia kedua setelah China dan menyusul yang ketiga adalah India. Pada 2021, Indonesia memasok CPO sebanyak 44,6 persen dari total minyak sawit yang masuk ke Uni Eropa senilai 6,4 miliar dolar AS.

Itu berarti nilai ekspor CPO Indonesia senilai 2,85 miliar atau setara dengan Rp 44,5 triliun. India, yang menyerap 21,3 persen minyak sawit Indonesia juga bakal mengurangi impor CPO karena hendak membuka kebun sendiri seluas 2 juta hektare dalam empat tahun ke depan.

Jika berhasil, India akan memproduksi CPO sendiri sebanyak 4 juta ton atau seperenam kebutuhan minyak sawit mereka. Dari 24 juta ton minyak sawit kebutuhan India, 13,5 juta berasal dari luar negeri, terbanyak dari Indonesia sebesar 45 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Januari-September 2022, Indonesia telah mengekspor CPO ke India sebanyak 3.088.050.138 kilogram dan senilai Rp 57 triliun.

Lantas bagaimana Indonesia menghadapi UU bebas deforestasi Eropa terkait dengan kebun sawit deforestasi ? Kebijakan apa yang harus dilakukan untuk itu?

Pilihan Sulit

Sebagai produsen minyak sawit terbesar, Indonesia punya dua opsi menghadapi EUDDR, yaitu menerima atau menolaknya. Kedua opsi tersebut sudah tentu mempunyai konsekuensi masing-masing.

Bila menerima, Indonesia harus segera merevisi pengertian deforestasi yang disesuaikan dengan definisi deforestasi Uni Eropa, termasuk melarang perkebunan sawit di dalam kawasan hutan tanpa kecuali.

PP 24/2021 dengan konsep jangka benah kebun sawit dalam kawasan hutan sudah harus ditinjau kembali keberadaannya karena sudah relevan. Termasuk di dalamnya sawit deforestasi yang diajukan prosesnya untuk pelepasan kawasannya hutannya yang mencapai 576.983 hektare itu.

Pelepasan kawasan hutan kebun sawit yang sudah telanjur masuk kawasan hutan jelas masuk dalam katagori sawit deforestasi karena prosedur dan mekanisme yang ditempuhnya keliru. Bisa jadi kawasan hutan produksi yang sudah telanjur ini tidak hanya hutan produksi yang dapat dikonversi tetapi juga hutan produksi biasa yang tidak bisa langsung dilepaskan tetapi harus melalui proses lain yang lebih panjang.

EUDDR tidak menghendaki adanya sawit dalam kawasan hutan produksi apalagi hutan lindung dan hutan konservasi. Kebun sawit yang melaksanakan proses jangka benah, jelas produksi crude palm oil (CPO) akan ditolak oleh UE dengan adanya UU bebas deforestasi itu.

Menurut data KLHK, luas kebun sawit yang akan mengikuti proses jangka benah luasnya mencapai 1,2-1, 7 juta hektare. Pilihan terbaik yang harus dilakukan pemerintah adalah kebun sawit seluas 3,2-3,4 juta hektare yang sudah telanjur masuk dalam kawasan hutan agar segera dimusnahkan dan dibangun kembali menjadi hutan yang berisi vegetasi kayu-kayuan tanaman hutan melalui kegiatan rehabilitasi hutan.

Bila Indonesia menolak EUDDR, PP 24/2021 dengan konsep jangka benahnya dapat terus dilaksanakan. Konsekuensinya pemerintah Indonesia tidak bisa menjual CPO ke pasar Eropa dan harus mencari pasar baru yang tidak mengaitkan produk sawit dengan deforestasi.

Dampaknya Indonesia kehilangan sumber devisa negara dari minyak sawit yang dua tahun terakhir membuat neraca perdagangan kita surplus.

Di luar soal devisa, mencegah deforestasi adalah bagian dari kontribusi mencegah pemanasan global. Deforestasi menyumbang 48 persen emisi karbon. Deforestasi komoditas pertanian menyumbang gas rumah kaca terbesar dari perubahan fungsi lahan hutan tersebut.

Sekarang tinggal pemerintah Indonesia, apakah tata kelola sawit akan dibenahi sektor hilirnya dulu, atau hulunya dulu atau dua-duanya secara simultan.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/14/104021265/setelah-sawit-bukan-tanaman-hutan-apa-langkah-selanjutnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke