Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Kabar Pengelolaan Mangrove di Indonesia?

Jokowi dengan antusias menjelaskan kepada para delegasi bahwa Tahura merupakan pekerjaan konkret karena tempat itu bisa menampung 6 juta bibit bakau. Tahura Ngurah Rai adalah contoh success story bagaimana seharusnya hutan mangrove ditanam, diperbaiki, dipelihara. Area itu sebelumnya adalah area tambak ikan, area terabrasi.

Sekarang lokasi itu menjadi rumah bagi 33 spesies mangrove yang juga menjadi rumah bagi lebih dari 300 fauna seperti ikan, udang, burung, monyet, ular, semuanya bisa hidup di hutan mangrove.

Presiden mengatakan banyak yang kaget atas capaian Indonesia dan keseriusan dalam mendukung perubahan iklim.

"Mereka banyak yang kaget bahwa kita sudah melakukan sejauh ini. Mereka mengatakan ini adalah sebuah pekerjaan yang konkret karena di sini memiliki kapasitas 6 juta bibit. Itu baru satu lokasi tadi saya sampaikan, kita tahun depan akan memiliki 33 lokasi, sekarang 5 sudah selesai yang sisanya dalam proses berjalan," kata Jokowi ketika itu.

Hampir seperempat mangrove dunia yang masih ada – dari sekitar 14 juta hektar- berada di Indonesia. Data terbaru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Harian Kompas, 04/08/2022), menyebutkan bahwa total luas habitat ekosistem mangrove Indoensia 4.120.263 ha, yang terdiri dari habitat ekosistem mangrove yang masih (exsisting) 3.364.080 ha dan potensi habitat mangrove seluas 756.183 ha.

Mangrove exsisting terdiri dari ekosistem mangrove yang lebat (3.121.240 ha), sedang (188.366 ha), dan jarang (54.474 ha). Sementara potensi habitat mangrove terdiri dari areal terabrasi, lahan terbuka, mangrove terabrasi, tambak dan tanah timbul (akresi).

Mangrove yang secara legal masuk dalam kawasan hutan seluas 2.936.813 ha dan di luar kawasan hutan (areal penggunaan lain/APL) 1.183.449 ha. Uniknya lagi, dalam kawasan hutan juga dibagi lagi sesuai kawasan fungsinya sebagaimana ekosistem hutan yang berada di daratan yakni hutan konservasi (HK) 797.109 ha, hutan lindung (HL) 991.456 ha, dan hutan produksi (HP) 1.148.248 ha.

Mangrove menyedot perhatian banyak pihak ketika karbon biru diperkenalkan lebih dari satu dekade lalu. Posisinya yang unik, yang berada di kawasan pesisir dan menyimpan sejumlah besar cadangan karbon (3-5 kali dari cadangan karbon hutan daratan yang terlebat) membuat mangrove memiliki peran ganda dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Hutan sekunder mangrove mampu menyimpan karbon 54,1 – 182,5 ton karbon dalam setiap ha.

Mangrove memiliki potensi besar untuk mengatasi dampak kenaikan muka laut bagi penduduk dan kawasan pesisir yang landai. Selain itu, bersama-sama dengan hutan gambut, cadangan karbon yang besar kawasan mangrove merupakan calon utama untuk mencapai target penurunan emisi dalam agenda Nationallity Determined Contributions (NDC) apabila emisi dapat dihindari.

Masalahnya sekarang bagi Indonesia adalah masih banyak kawasan mangrove yang rusak dan perlu untuk direhabilitasi dalam bentuk kegiatan penanaman baru (revegetasi). Habitat mangrove yang telah rusak dan perlu direhabilitasi kembali seluas 756.182 ha, yang terdiri terdiri dari mangrove yang rusak dalam kawasan hutan 756.182 ha (HK 48.838 ha, HL 83.732 ha, HP 132.570 ha) dan mangrove yang rusak di areal APL 480.651 ha.

Masalah lain (seperti pembiayaan, tata ruang mangrove, regulasi) yang menjadi hambatan dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, secara simultan harus segera dibenahi untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi mangrove.

Sepanjang tahun 2010-2019, Indonesia telah menanam mangrove seluas lebih dari 45.000 hektar. Sementara tahun 2020, penanaman mangrove kembali dilakukan seluas 39.970 hektar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), serta pihak-pihak terkait lainnya.

Sementara itu, melalui program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) semasa pandemi, percepatan rehabilitasi mangrove tahun 2021 mencapai 34.000 hektar. Total keseluruhan kawasan mangrove yang telah direhabilitasi dari tahun 2010 hingga 2021 seluas 118.970 hektar.

Data luas tersebut adalah data luas penanaman. Keberhasilan dalam arti tingkat pertumbuhan dan luas tanaman (survival rate and large growth) rehabilitasi mangrove belum dilaporkan dan diverifikasi secara menyeluruh.

Menurut Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM, Satyawan Pudyatmoko, dari hasil evaluasi rehabilitasi tahun tanam 2020 di lahan mangrove seluas 13.000 ha, diketahui bahwa kegagalan tanaman mangrove antara lain akibat tempat atau lokasi yang kurang sesuai karena berhadapan langsung dengan laut, kurangnya partisipasi masyarakat, ketidaksesuaian waktu tanam dan masa berbuah, waktu tanamnya terlalu mundur dengan musim ombak yang tenang, lokasi bekas habitat mangrove yang telah rusak tidak dapat dijamin berhasil apabila ditanami mangrove lagi. Target yang ingin dicapai hingga tahun 2024 adalah seluas 600.000 ha telah tertanami.

Merehabilitasi ekosistem mangrove bukan kegiatan budidaya jenis tertentu secara monokultur. Persyaratan lokasi tumbuh harus diperhatikan, termasuk sistem tata air yang memungkinkan terjadinya percampuran air tawar dan air asin (air payau) yang sesuai dengan persyaratan tumbuh jenis tertentu.

Demikian pula, dengan jenis lumpur atau substrat yang akan ditanami. Salah dalam pemilihan lokasi dan pemilihan jenis yang ditanam akan berakibat fatal dan peluang untuk hidup dan berhasil makin kecil. Mangrove memang hidup dipantai, tetapi tidak semua pantai bisa ditanami mangrove.

Modernisasi Revegetasi

Ketika Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dilaksanakan tahun 2003-2008, pernah dilakukan kegiatan penyebaran benih tanaman hutan untuk daerah-daerah hulu yang sulit dijangkau manusia dengan menggunakan pesawat terbang. Praktik seperti itu dilakukan Sulawesi Selatan. Meski demikian, sampai saat ini belum ada laporan tentang keberhasilannya menjadi tanaman/pohon hutan setelah lebih satu dekade berlalu.

Dengan alasan yang tidak jauh berbeda, pemerintah Indonesia bersiap untuk menggunakaan teknologi pesawat tanpa awak (drone) untuk mendukung penanaman mangrove seluas 600.000 hektare hingga tahun 2024. Para ahli dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marvest), KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), dan Aero Terra Indonesia sudah membentuk tim yang menyiapkan rancang bangun drone penebar benih mangrove dari udara.

Kemampuan drone penebar benih itu dipamerkan secara virtual pada Rakor Tingkat Menteri dalam rangka Penandatanganan Nota Kesepahaman Program Kerja Sama Penanaman Mangrove melalui program corporate social responsibility (CSR) pada 10 Agustus 2021.

Dalam pengembangan teknologi penanaman mangrove melalui udara itu telah dibentuk dua tim. Tim pertama yang menyiapkan benih mangrove, sedangkan kelompok kedua menyiapkan alat angkut drone guna menembakkan benih mangrove dari udara ke pantai.

Pemanfaatan teknologi aerial seedling ini cukup efektif sehingga luas area penanaman bisa digarap dalam waktu yang lebih pendek dibandingkan dengan cara penanaman mangrove konvensional. Pada penanaman mangrove konvensional, dilakukan dengan menanam bibit mangrove. Sementara penanaman dengan menggunakan drone akan memanfaatkan biji mangrove yang dilapis oleh pupuk tanaman, dalam bentuk bola-bola berdiameter 3 centimeter.

Bola-bola tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung pelontar yang terpasang pada drone. Tabung pelontar didesain menggunakan teknologi 3-D Printing, sedang untuk menembakkan biji mangrove digunakan tekanan gas.

Sebuah drone mampu mengangkut 600 butir benih mangrove, dapat menembakkan 600 benih, dari ketinggian 5 meter, dalam 20 menit dengan jarak tanam 1 X 2 meter. Dengan demikian, satu drone dapat menanam 3 hektare mangrove setiap hari.

Teknologi drone ini cocok untuk penanaman mangrove di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau, jarang penduduk, dan terpencil sebagai komplemen sistem penanaman mangrove konvensional berbasis masyarakat.

Masalahnya adalah bagaimana tingkat keberhasilan tumbuh tanaman mangrove tersebut dibandingkan dengan cara konvensional? Apa risikonya apabila benih mangrove langsung ditanam dengan cara ditembakkan dari udara? Bagaimana cara memelihara, merawat dan menyulamnya apabila benih tersebut mati dan pertanyaan yang lainnya.

Setiap hektar anggaran pemulihan mangrove dibutuhkan biaya Rp 40 juta. Biaya yang cukup mahal untuk sebuah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Bandingkan dengan kegiatan RHL di lahan kering. Dalam pedoman standar biaya kegiatan lingkup KLHK tahun 2021, kegiatan pembuatan hutan rakyat setiap hektar hanya berkisar antara Rp 5,7 juta hingga Rp 7,1 juta (sesuai dengan pembagian rayonnya).

Tahun 2022 saja, rehabilitasi mangrove melalui penanaman kembali (revegetasi) ditargetkan mencapai 11.000 ha. Masalah mendasar rehabilitasi mangrove dan menjadi tantangan besar sekarang adalah aspek pendanaan untuk merehabilitasi mangrove.

Menurut Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM, Satyawan Pudyatmoko, guna mempercepat rehabilitasi mangrove, aspek pendanaan harus menggunakan banyak skema. Selain APBN, skema pendanaan lainnya harus diupayakan, seperti kerja sama dengan pihak luar negeri ataupun bentuk-bentuk komitmen lainnya.

Menurut Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarinvest), Kus Prisetiahadi, kendala pendanaan terjadi karena ada sinergi antar kementerian dan lembaga. Sebab, setiap kementerian dan lembaga memiliki tugas area rehabilitasi mangrove yang berbeda-beda.

Kemenko Mmarinvest berupaya menyelesaikan kendala itu dengan memfasilitasi BRGM untuk mendapatkan sejumlah pendanaan. Selain anggaran dari pemerintah, dilakukan juga kerja sama dengan lembaga internasional dari berbagai negara. Selain memperoleh pinjaman dari Bank Dunia, pemerintah juga menandatangani nota kesepahaman dengan Uni Emirat Arab untuk pengembangan mangrove di Bangka Belitung seluas 10.000 ha pada Februari 2022.

Pada Maret 2022, juga ada kerja sama dengan Singapura untuk mengembangkan riset ekonomi hijau sebagai solusi mitigasi perubahan iklim. Dalam kerja sama riset ini, Indonesia mengusulkan beberapa alternatif lokasi untuk proyek percontohan.

Selain proyek yang sudah terjalin tersebut, Indonesia dan Arab Saudi akan bekerja sama merehabilitasi mangrove seluas 150.000 ha. Rehabilitasi akan dilakukan di sembilan provinsi prioritas antara lain Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

Regulasi dan Tata Ruang

Berpijak dari terbentuknya ekosistem mangrove yang khas/unik, yakni ekosistem mangrove hidup di pantai tetapi tidak semua pantai dapat ditanami mangrove, maka penetapan kawasan fungsi kawasan ekosistem/hutan mangrove menurut Undang-Undang (UU) Tata Ruang maupun UU Kehutanan dan regulasi turunannya, harusnya menjadi pembeda dibandingkan dengan fungsi kawasan hutan gambut maupun hutan tropika daratan lainnya.

Kenapa demikian? Pertama, dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Dari lima kriteria kawasan lindung dalam UU ini, hutan konservasi, hutan lindung, dan kawasan pantai berhutan bakau masuk dalam kriteria kawasan lindung.

Kedua, pembagian fungsi kawasan hutan (HK, HL, dan HP) dalam kawasan hutan mangrove sudah tidak realistis dan tidak ada dasar hukumnya. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) NOmor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan dan diubah/disempurnakan dalam PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, pembagian fungsi kawasan hutan (khususnya HL dan HP) hanya berlaku dalam kawasan hutan daratan yang didasarkan pada faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan.

Sementara dalam kawasan hutan mangrove faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan relatif sama antara habitat mangrove yang satu dengan yang lain. Jadi dasar hukum apa yang digunakan untuk membedakan HL dan HP dalam kawasan hutan mangrove ?

Ketiga, akibat kesalahan masa lalu karena ketidakcermatan dalam meng-overlay-kan antara peta tata ruang dengan peta tata guna hutan kesepakatan (TGHK) maka terdapat kawasan hutan mangrove yang masuk dalam kawasan APL, padahal APL ini hanya berlaku pada hutan produksi di kawasan daratan yang masuk dalam irisan kawasan budidaya dalam peta tata ruang.

Sementara itu, kawasan hutan pantai berhutan bakau telah dipertegas masuk dalam kawasan lindung (bukan kawasan budidaya yang secara otomatis bukan masuk dalam APL). Dengan demikian, kawasan mangrove existing sekarang seharusnya mutlak ditetapkan sebagai kawasan lindung (HK atau HL yang masuk dalam kawasan hutan).

Fungsi kawasan HP bagi hutan mangrove agar segera dapat diubah ke dalam HK/HP melalui mekanisme perubahan fungsi kawasan hutan yang dijamin oleh PP Nomor 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan yang mempermudah perubahan fungsi kawasan di dalam fungsi kawasan (HPK, HPT dan HPB) atau antar fungsi kawasan (konservasi, lindung dan produksi) yang diubah dalam PP Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

Meskipun demikian, untuk kepentingan kegiatan pembangunan non-kehutanan yang mendesak dan urgent membutuhkan lahan mangrove, kita tidak menutup mata untuk dialihfungsikan kepenggunaan lain, sepanjang luasnya terbatas dan selektif melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

Mengingat pentingnya memenuhi kebutuhan akan kebijakan dan pengaturan dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove yang sangat strategis tersebut, rencana KLHK dan BRGM yang sedang mempersiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur secara komprehensif Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove perlu didukung sepanjang kawasan ekosistem mangrove masuk dalam kawasan lindung dan penghapusan kawasan fungsi hutan produksi mangrove yang ternyata dalam data terbaru KLHK masih dikenal seluas 1.148.248 ha.

Seharusnya keberadaan hutan produksi (HP) di kawasan hutan mangrove sudah tidak relawan lagi untuk kondisi sekarang. BRGM yang ditugaskan pemerintah untuk merehabilitasi mangrove yang rusak pada tahun 2022 juga telah menyusun roadmap (peta jalan) tata kelola mangrove di Indonesia sebagai panduan untuk melaksanakan rencana aksi rehabilitasi mangrove tidak hanya untuk BRGM saja tetapi juga para pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan rehabilitasi mangrove, seperti KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan pemerintah daerah.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/09/100700365/apa-kabar-pengelolaan-mangrove-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke