Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Korupsi dalam Secangkir Kopi Multatuli

Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D. Putri

KOMPAS.com - Terlepas dari dampaknya yang bisa membuat mata melek dan asam lambung naik, kopi selalu membawa kehangatan tersendiri di kala pagi atau berbincang. Mau kopi saset seharga dua ribuan, disangrai sendiri di rumah, atau yang berharga mahal seperti di kafe, bila tidak bisa memantik percakapan, bukan kopi namanya.

Melalui siniar Beginu bertajuk “Pepeng, Klinik Kopi, Menjadi Kecil, dan Siasat Hidup Bahagia”, kita dapat mengetahui perbincangan Wisnu Nugroho dengan Pepeng untuk tetap bahagia hanya dengan sebatas menghirup dan meminum segelas kopi yang dapat diakses melalui tautan berikut https://dik.si/BeginuPepeng.

<iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/38ibuLjOwa81aZ02HUCL4n?utm_source=generator" width="100%" height="352" frameBorder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture" loading="lazy"></iframe>

Kopi memang erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, kita bisa melihat kritik Multatuli terhadap kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang disajikan melalui novel Max Havelaar (2014).

Novel ini mengambil inspirasi dari kehidupan masyarakat dan kontribusi perkebunan kopi terhadap perolehan devisa negara kolonial.

Akan tetapi, Multatuli melihat pemerintah terlalu mengutamakan keuntungan ekonomi hingga memunculkan banyak masalah kemanusiaan.

Mau tidak mau, kapitalisme memang sudah menjalar sedari dulu dan menjadi penentu kebijakan pemerintah, terlebih industri swasta mengetahui tanah di Pulau Jawa yang subur memiliki potensi keuntungan yang angkanya di luar nalar.

Keadaan tanah Pulau Jawa inilah yang mendorong pihak asing untuk mendominasi, melakukan investasi, dan mengeksploitasi. Akan tetapi, masyarakat Belanda tidak terlalu mengetahui keadaan di Pulau Jawa hingga akhirnya mereka terkagetkan dengan lahirnya novel Max Havelaar.

Korupsi dan Politik Etis

Setidak-tidaknya, kita bisa melihat adanya pihak luar, yaitu Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (liyan), yang memiliki rasa kemanusiaan atas pribumi dengan mengkritik pemerintahnya dalam wujud Max Havelaar meski Dekker hanya hidup bersama pribumi di Lebak selama tiga bulan.

Akan tetapi, tiga bulan itu yang paling berkesan baginya. Karena, dia mendokumentasikan beragam praktik korupsi yang tidak hanya dilakukan pemerintah, melainkan pejabat pribumi juga. Dia (Dekker) ingin melenyapkan korupsi, tetapi sulit.

Untunglah dengan sastra dia bisa bersuara dan masyarakat Belanda memberikan kecaman-kecaman terhadap pemerintah.

Dampaknya, pada permulaan abad XX, kebijakan Pemerintah Hindia Belanda mengalami perubahan arah yang fundamental. Tidak ada lagi penaklukan dan eksploitasi.

Wacana kekuasaan dan dominasi mulai digantikan dengan kemanusiaan dan kesejahteraan yang diwujudkan dalam kebijakan Politik Etis.

Akan tetapi, bila melihat ke masa kini, di era kopi sudah menjadi sebuah budaya, korupsi tetap saja ada.

Mengapa? Mungkin kita bisa melihat tokoh Mamad dalam film Si Mamad (1973) yang mempertontonkan Mamad yang mengambil setumpuk kertas milik kantor, kemudian dijualnya.

Tidak lama berselang, Mamad merasa bersalah. Rasa bersalah ini terus-menerus menghantuinya. Sejatinya, ada dua kesamaan dari Max Havelaar dan film Si Mamad, meskipun beda bentuk dan tahun diciptakan, yaitu adanya kesadaran nilai dan moral yang dilanggar.

Pelaku korupsi tidak bisa membedakan konsep milik sendiri dan milik orang banyak. Milik pribadi dan milik rakyat. Jelas, pejabat (wakil rakyat) sebagai pemangku kebijakan dengan membawa nama pemerintah, bukan berarti pemilik negara.

Kita bisa melihatnya ketika Dekker merepresentasikan tindak korupsi pada Bupati Lebak yang meminta rakyat memberikan tanah, segala hasil panen, dan persembahan.

Representasi ini juga mengingatkan kita pada Raja XIV yang mengungkapkan “Negara adalah aku”.

Apakah Indonesia yang merupakan negara modern memiliki pejabat atau pemerintah yang demikian? Pasalnya, korupsi tidak peduli kapan, di mana, dan oleh siapa, korupsi tetaplah salah.

Korupsi hanya menghasilkan ketidakadilan dan kekejaman. Bukan hanya oleh Raja Louis XIV, Bupati Lebak, dan Mamad, melainkan juga pada sistem negara modern (termasuk Indonesia) yang dibayangkan oleh Hegel yang diharapkan dapat mengelola kehidupan tanpa anarki ataupun tirani.

Pendek kata, Indonesia bukanlah tempatnya orang-orang yang ingin menunjukkan kekuatan kepada rakyatnya dan berserakah ria, melainkan pemerintah yang dapat membuat kebijakan sesuai nalar dan terkadang menikmati kopi tanpa harus dikapitalisasi.

Simak obrolan lengkap Pepeng dengan Wisnu Nugroho dalam siniar BEGINU bertajuk “Pepeng, Klinik Kopi, Menjadi Kecil, dan Siasat Hidup Bahagia” di Spotify.

Ikuti juga siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap episode terbaru yang tayang pada Senin, Rabu, dan Jumat!

https://www.kompas.com/tren/read/2022/11/09/180000965/kisah-korupsi-dalam-secangkir-kopi-multatuli

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke