Berdasarkan Kitab Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, diketahui bahwa wayang sudah terbuat dari kulit sejak awal abad ke-11.
Pada zaman dulu, wayang kulit tidak dibuat dari tampak samping seperti sekarang ini, tetapi tampak depan.
Sebelum dari kulit, figur wayang dibuat dari lontar, kemudian dari kertas. Tradisi wayang kemudian diwariskan hingga masa perkembangan Islam.
Baca juga: Watangan Matah dalam Pertunjukan Calonarang di Bali
Pada awal perkembangan Islam, wayang dijadikan media dakwah di Pulau Jawa oleh para sunan.
Para ulama umumnya meyakini bahwa penggambaran makhluk hidup seperti manusia dan binatang dalam karya seni, termasuk wayang kulit, tidak diperbolehkan.
Oleh sebab itu, figur wayang kulit dibuat sedemikian rupa agar bentuknya yang tidak menyerupai manusia.
Mengutip jurnal Peran Sunan Kalijaga Terhadap Bentuk Wayang Kulit di Jawa yang ditulis oleh Aron B Laki, perubahan bentuk wayang kulit dilakukan oleh Sunan Kalijaga.
Perubahan tersebut dilakukan pada abad ke-15. Saat itu, Sunan Kalijaga berkeinginan untuk mementaskan pagelaran wayang kulit dalam rangka pembukaan Masjid Agung Demak.
Namun, gagasan itu ditolak oleh Sunan Giri, yang menganggap bentuk wayang kulit mirip seperti manusia.
Itulah yang membuat Sunan Kalijaga berinisiatif untuk mengubah bentuk wayang kulit agar tidak menyerupai bentuk manusia.
Baca juga: Reog Cemandi, Kesenian untuk Menakuti Penjajah Belanda
Sejak itu, tampilan wayang kulit berubah, misalnya dibentuk bagian tangan yang lebih panjang hingga ke lutut, kemudian pinggang yang sangat kecil, agar tidak menyerupai manusia.
Bentuk wayang yang baru (tidak realistis) dapat diterima oleh para wali dan mereka setuju untuk melakukan pagelaran wayang pada saat pembukaan Masjid Agung Demak.
Pada masa selanjutnya, wayang kulit menjadi media dakwah beberapa tokoh Wali Songo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa, karena dengan cara Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Tokoh dalam wayang kulit berjumlah 200 hingga 300 karakter, yang dapat dibagi ke dalam golongan-golongan tertentu.
Misalnya golongan dewa, pendeta, ksatria, patih, raja, keputren (tokoh wanita atau putri), golongan abdi dan raksasa (buto).