Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Wayang Kulit: Asal-usul dan Perkembangannya

Figur wayang tersebut dikendalikan atau dimainkan oleh seorang dalang, yang juga bertindak sebagai narator yang menghidupkan cerita.

Wayang kulit merupakan salah satu aset budaya Indonesia yang telah diakui UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau karya kebudayaan yang mengagumkan di bidang cerita narasi dan warisan budaya yang indah dan berharga.

Biasanya, pertunjukan wayang kulit menceritakan tentang kisah-kisah yang diambil dari naskah Ramayana dan Mahabarata, yang dipentaskan dengan iringan musik gamelan.

Berikut ini sejarah wayang kulit dan perkembangannya di Indonesia.

Asal-usul Wayang Kulit

Melansir desatepus.gunungkidulkab.go.id, kata wayang berasal dari bahasa Jawa, yang berarti bayangan atau gambar. Sedangkan kulit mengacu pada bahan kulit yang digunakan untuk membuat figur dalam pertunjukan ini.

Tidak diketahui pasti siapa yang pertama kali menemukan wayang kulit.

Dari banyaknya teori tentang asal-usul wayang, para sejarawan umumnya meyakini bahwa wayang kulit pertama kali muncul di Jawa dan Bali.

Salah satu pendapat mengemukakan bahwa wayang kulit muncul pertama kali di wilayah Jawa Timur.

Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa wayang kulit berasal dari India, yang dibawa masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya pengaruh agama Hindu dan Buddha pada awal Masehi.

Pertunjukan wayang kulit awalnya digunakan sebagai sarana penyampaian ajaran agama, melalui cerita epik Mahabharata dan Ramayana.

Seiring waktu, terjadi akulturasi dengan masuknya elemen-elemen lokal dan mitologi pribumi, yang menciptakan paduan seni yang unik.

Sejak itu, pertunjukan wayang kulit semakin berkembang dan digemari oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.

Perkembangan Wayang Kulit

Pada zaman Hindu-Buddha, bentuk wayang belum seperti wayang kulit yang ada saat ini.

Akan tetapi, perkembangan bentuknya cukup sulit untuk ditelusuri.

Berdasarkan Kitab Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, diketahui bahwa wayang sudah terbuat dari kulit sejak awal abad ke-11.

Pada zaman dulu, wayang kulit tidak dibuat dari tampak samping seperti sekarang ini, tetapi tampak depan.

Sebelum dari kulit, figur wayang dibuat dari lontar, kemudian dari kertas. Tradisi wayang kemudian diwariskan hingga masa perkembangan Islam.

Pada awal perkembangan Islam, wayang dijadikan media dakwah di Pulau Jawa oleh para sunan.

Para ulama umumnya meyakini bahwa penggambaran makhluk hidup seperti manusia dan binatang dalam karya seni, termasuk wayang kulit, tidak diperbolehkan.

Oleh sebab itu, figur wayang kulit dibuat sedemikian rupa agar bentuknya yang tidak menyerupai manusia.

Mengutip jurnal Peran Sunan Kalijaga Terhadap Bentuk Wayang Kulit di Jawa yang ditulis oleh Aron B Laki, perubahan bentuk wayang kulit dilakukan oleh Sunan Kalijaga.

Perubahan tersebut dilakukan pada abad ke-15. Saat itu, Sunan Kalijaga berkeinginan untuk mementaskan pagelaran wayang kulit dalam rangka pembukaan Masjid Agung Demak.

Namun, gagasan itu ditolak oleh Sunan Giri, yang menganggap bentuk wayang kulit mirip seperti manusia.

Itulah yang membuat Sunan Kalijaga berinisiatif untuk mengubah bentuk wayang kulit agar tidak menyerupai bentuk manusia.

Sejak itu, tampilan wayang kulit berubah, misalnya dibentuk bagian tangan yang lebih panjang hingga ke lutut, kemudian pinggang yang sangat kecil, agar tidak menyerupai manusia.

Bentuk wayang yang baru (tidak realistis) dapat diterima oleh para wali dan mereka setuju untuk melakukan pagelaran wayang pada saat pembukaan Masjid Agung Demak.

Pada masa selanjutnya, wayang kulit menjadi media dakwah beberapa tokoh Wali Songo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa, karena dengan cara Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Karakter Wayang Kulit

Tokoh dalam wayang kulit berjumlah 200 hingga 300 karakter, yang dapat dibagi ke dalam golongan-golongan tertentu.

Misalnya golongan dewa, pendeta, ksatria, patih, raja, keputren (tokoh wanita atau putri), golongan abdi dan raksasa (buto).

Golongan dalam wayang kulit dibedakan sesuai karakter atau sifatnya. Contohnya golongan ksatria, yang biasanya memiliki sifat yang berani, pantang menyerah, dan ahli dalam perang.

Karakter atau sifat dalam penokohan wayang kulit umumnya berasal dari penggambaran sifat-sifat manusia.

Wajah dalam tokoh wayang kulit juga dibuat untuk mengekspresikan watak-watak manusia, misalnya penggambaran bentuk hidung, mata, mulut, hingga rona muka.

Posisi wajah yang berbeda-beda pada tokoh wayang kulit juga dapat menggambarkan sifat manusia.

Misalnya wajah yang menunduk menggambarkan kerendahan hati dan kesantunan, sedangkan wajah yang tengadah ke atas menggambarkan kesombongan.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/04/28/180000879/sejarah-wayang-kulit--asal-usul-dan-perkembangannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke