Setelah ditahan selama sekitar 2,5 tahun, Tan Malaka dibebaskan pada 16 September 1948 oleh pemerintahan pengganti Sjahrir, yakni Mohammad Hatta.
Pembebasan Tan Malaka tidak lain untuk meredam gejolak politik lain yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Musso.
Tan Malaka memang tokoh golongan kiri, tetapi ia sendiri sering bersitegang dengan anggota PKI.
Bahkan Tan Malaka menjadi salah satu pimpinan PKI yang menolak Pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948.
Pada 7 November 1948, Tan Malaka mengagas berdirinya Partai Murba. Sekitar sebulan kemudian, Belanda melancarkan Agresi Militer II, yang mengakibatkan pengasingan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Pulau Bangka.
Baca juga: Kisah Pangeran Diponegoro Ditangkap dan Diasingkan Belanda
Ketika Soekarno-Hatta diasingkan, Sjafruddin Prawiranegara diamanatkan membentuk pemerintahan darurat di Bukittinggi, dengan nama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Sjafruddin menjabat sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara selama Soekarno-Hatta berada di pengasingan.
Di tengah situasi itu, Tan Malaka dan rekan-rekannya menghalau Belanda yang merangsek di sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ahli waris Tan Malaka, Hengky Novaron Arsil Datuk Tan Malaka, mengatakan kepada Kompas.com bahwa setelah Soekarno-Hatta diasingkan, Tan Malaka di sela-sela gerilyanya hendak memperkenalkan diri ke publik sebagai penerus perjuangan.
"Tan membawa surat dari Presiden Soekarno yang berisi testamen politik, kalau ada apa-apa dengan dirinya (Soekarno), yang melanjutkan adalah Tan,” ujar Hengky kepada Kompas Jeo sebagaimana dikutip Kompas Stori, Kamis (18/4/2024).
Soekarno memang menjadi salah satu tokoh yang secara terang-terangan mengaku terpana pada pemikiran dan ide-ide Tan Malaka dan pernah menulis testamen politik yang menunjuk Tan Malaka sebagai kandidat penggantinya.
Baca juga: Peran Tan Malaka Pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Masih menurut Hengky, manuver politik Tan Malaka itu tidak disukai sejumlah kalangan di Indonesia yang berseberangan dengannya.
Mereka menuding Tan Malaka hendak menggulingkan Soekarno, sehingga harus diburu.
Sejarawan Belanda, Harry A Poeze, mengatakan bahwa petinggi militer di Jawa Timur menilai Tan Malaka menyerukan bahwa penahanan Soekarno-Hatta menciptakan kekosongan kepemimpinan.
Mereka juga menyebut, Tan Malaka mempropagandakan bahwa elite militer enggan bergerilya menghadapi Belanda.