Selain itu, para petani miskin dipaksa membayar biaya kepemilikan sawah dan tak jarang mereka juga melakukan kerja paksa di sawah milik bupati tanpa dibayar.
Bupati juga memungut biaya untuk pertunjukan dan rakyat diwajibkan membayar uang keamanan, padahal pencurian semakin merajalela.
Setelah Mataram Islam terpecah menjadi dua kerajaan, kondisi keuangan pemerintah Hindia Belanda semakin memburuk.
Pada 1823, Van der Capellen menghentikan kebijakan sewa tanah kepada orang-orang swasta Eropa.
Menurut Gubernur Jenderal Van der Capellen, keberadaan onderneming merugikan kaum buruh.
Banyak penduduk Jawa yang menggantungkan nasib di tanah onderneming.
Tindakan itu bertujuan menjaga perusahaan Nederlandse Handelsmaatschappij milik Raja Willem I.
Perusahaan ini diharapkan dapat membawa Belanda menuju kemajuan dalam sektor perdagangan.
Perusahaan tersebut menerapkan sistem penanaman saham dengan cara mengelola tanah Priangan.
Kebijakan onderneming ini dianggap merugikan banyak pihak. Kebijakan ini mempersulit gubermen dalam menjual hasil bumi dari tanah Priangan, contohnya kopi, serta kesulitan dalam menentukan harga.
Selain pihak pemerintah, para tuan tanah juga dirugikan dengan kebijakan itu.
Para tuan tanah yang biasanya memperoleh uang sewa justru tidak mampu mengembalikan uang sehingga terlilit utang.
Kondisi itu memunculkan desakan agar Van der Capellen melakukan peninjauan ulang atas kebijakan tersebut.
Adanya sistem buka tutup jalan ini diberlakukan Daendels dan hampir serupa dengan jalan tol.
Terdapat pos-pos dilengkapi dengan petugas yang melakukan penarikan biaya untuk pemeliharaa jalan.
Baca juga: Empat Kebijakan Ekonomi VOC di Nusantara