Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak Pecahnya Mataram Islam

Kompas.com - 15/02/2024, 18:48 WIB
Endang Mulyani,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.COM - Pada 13 Februari 1755, Mataram Islam resmi terpecah menjadi dua melalui Perjanjian Giyanti yang ditandatangani di Desa Giyanti, Dukuh Kerten, Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Mataram Islam terpecah menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Kerajaan di Surakarta kemudian terpecah menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaraan.

Hal serupa terjadi terhadap Kasultanan Yogyakarta yang juga terpecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Pecahnya Mataram Islam membawa beberapa dampak terhadap kolonialisme Belanda di Tanah Jawa. Berikut ini dampak pecahnya Mataram Islam:

Dominasi VOC

Dengan pecahnya Mataram Islam, wilayah kekuasaan kerajaan pun kian menyempit dan dibatasi Belanda.

Baca juga: Hubungan Kerajaan Mataram Kuno dengan Candi Borobudur

VOC berkuasa atas pribumi sehingga mengakibatkan rakyat semakin tertindas.

Tanah di Karangkobar, Jabarangkah, pesisir utara Jawa, dan lainnya ke tangan VOC.

Di sisi lain, pemerintah Belanda dilanda krisis ekonomi.

Belanda berusaha untuk menutup kekosongan kas negara dengan memberlakukan pajak pada wilayah jajahannya.

Demi memulihkannya kas tersebut, pemerintah Belanda melakukan monopoli perdagangan yang membuat pribumi menjadi sengsara.

Para penguasa di Jawa sewenang-wenang

Para raja dan para pejabat tinggi lainya mulai berlaku sewenang-wenang dengan memungut pajak tanah dan memaksa rakyat menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa.

Kebijakan tersebut kemudian diubah oleh commisarissen generaal, bupati yang dibayar dengan sistem gaji.

Hal ini menguntungkan para bangsawan dan tuan tanah karena dapat menyewakan tanah kepada onderneming Belanda dalam kurun waktu lama (sekitar 10-30 tahun).

Pribumi kala itu harus menyerahkan sebagian besar hasil panen dan membayar untuk jasa penimbangan padi mereka.

Baca juga: Daftar Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

Selain itu, para petani miskin dipaksa membayar biaya kepemilikan sawah dan tak jarang mereka juga melakukan kerja paksa di sawah milik bupati tanpa dibayar.

Bupati juga memungut biaya untuk pertunjukan dan rakyat diwajibkan membayar uang keamanan, padahal pencurian semakin merajalela.

Kondisi keuangan Belanda memburuk

Setelah Mataram Islam terpecah menjadi dua kerajaan, kondisi keuangan pemerintah Hindia Belanda semakin memburuk.

Pada 1823, Van der Capellen menghentikan kebijakan sewa tanah kepada orang-orang swasta Eropa.

Menurut Gubernur Jenderal Van der Capellen, keberadaan onderneming merugikan kaum buruh.

Banyak penduduk Jawa yang menggantungkan nasib di tanah onderneming.

Tindakan itu bertujuan menjaga perusahaan Nederlandse Handelsmaatschappij milik Raja Willem I.

Perusahaan ini diharapkan dapat membawa Belanda menuju kemajuan dalam sektor perdagangan.

Perusahaan tersebut menerapkan sistem penanaman saham dengan cara mengelola tanah Priangan.

Kebijakan onderneming ini dianggap merugikan banyak pihak. Kebijakan ini mempersulit gubermen dalam menjual hasil bumi dari tanah Priangan, contohnya kopi, serta kesulitan dalam menentukan harga.

Selain pihak pemerintah, para tuan tanah juga dirugikan dengan kebijakan itu. 

Para tuan tanah yang biasanya memperoleh uang sewa justru tidak mampu mengembalikan uang sehingga terlilit utang.

Kondisi itu memunculkan desakan agar Van der Capellen melakukan peninjauan ulang atas kebijakan tersebut.

Penerapan sistem buka tutup jalan

Adanya sistem buka tutup jalan ini diberlakukan Daendels dan hampir serupa dengan jalan tol.

Terdapat pos-pos dilengkapi dengan petugas yang melakukan penarikan biaya untuk pemeliharaa jalan.

Baca juga: Empat Kebijakan Ekonomi VOC di Nusantara

Aksi ini turut diikuti oleh para raja di Jawa supaya mendapat sumber pemasukan tambahan.

Mulanya, Raffles menyerahkan pengelolaan ini pada para raja, tetapi mereka mengalihkannya kepada orang-orang China melalui sistem lelang.

Oleh karena itu, orang yang berani menaruh harga tertinggi, berhak atas pemungutan biaya pada pengguna jalan.

Oran-orang China bertindak keras bahkan melakukan pemaksaan agar tidak adanya pelanggaran oleh pengguna jalan.

Aturan ini berlaku bagi seluruh golongan, baik orang dewasa, anak-anak, orang tua, pria, ataupun perempuan. Oleh karena itu, rakyat merasa diperas.

Referensi:

  • Kresna, Ardian. (2011). Sejarah Panjang Mataram. Jogjakarta: Diva Press
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com