Yudhistria, yang bijak dan elegan, tertua dan duduk di tahta. Banyak yang menjadikan dirinya seperti Bima, gagah tanpa kenal takut.
Tokoh Nakula dan Sadewa dianggap simbol kepahlawanan dan kesetiaan. Itu angan ideal, bukan kenyataan.
Pandawa seringkali tidak nyata dan kurang jujur dalam penggambaran, terutama kalau dikaitkan dengan diri pencerita. Lima tokoh itu terlalu sempurna.
Para satria selalu tampil diatur sesuai suasana, kalem, menawan, murah senyum, penuh dengan pencitraan.
Para penonton tidak tahu pasti, jangan-jangan itu hanyalah tampilan luar. Di dalamnya, dan bagaimana akhirnya nanti, apakah tetap sederhana dan jujur, tidak tahu.
Para satria di sisi Kurawa, digambarkan berangasan, kejam, grusa-grusu, licik, dan selalu menertawakan Pandawa.
Kurawa sering dijadikan musuh dan dinisbatkan pada musuh-musuh yang menceritakan kembali epik Mahabarata.
Dalam teori drama tragedi Yunani kuno, memang perlu ada pelampiasan sifat-sifat jahat dalam panggung, supaya puas dan ada chanel-nya tidak terpendam dalam jiwa.
Namun, kejahatan yang sesungguhnya dalam hidup, bisa tidak nyata, dinamis, tidak sederhana, berganti-ganti, dan tidak ajeg. Kejahatan tidaklah monoton milik tokoh tertentu.
Satu tokoh kadang bisa antagonis, waktu yang lain bisa protagonis. Kita sendiri bisa jadi jahat, bisa jadi baik tinggal di mata siapa. Dan bahkan dalam sehari kita bisa berganti watak dan karakter, dari jahat ke baik atau sebaliknya.
Dalam tradisi pementasan Mahabarata di Nusantara, tokoh Punokawan menjadi jembatan antara yang nyata dan fiktif. Punokawan kadang jauh lebih serius dan lebih riil menggambarkan kehidupan sehari-hari.
Faktanya, Semar menasihati para satria. Bagong menertawakan Arjuna. Gareng meledek Bima. Petruk bisa menjadi Raja Astina, walau sesaat. Semar tetap menjadi penasihat.
Kisah pertarungan Pandawa dan Kurawa membutuhkan jembatan kenyataan, karena pertempuran keduanya tidak di alam nyata. Di alam nyata adalah punokawan.
Punokawan adalah penyeimbang, yang menertawai mereka. Punokawan momong dan menghibur para satria.
Arjuna saat bertapa atau diajak adu kesaktian dengan raksasa Cakil, empat punokawan menemaninya. Saat Bima ke laut dan gunung, Punokawan menasihatinya. Saat Nakulo dan Sadewo berselisih, Semar menengahinya.