KOMPAS.com - Kebijakan romusha terekam dalam memori bangsa Indonesia sebagai salah satu peristiwa paling memilukan.
Romusha merupakan panggilan bagi orang-orang yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia yang berlangsung antara 1942 hingga 1945.
Pada awalnya, romusha merupakan tenaga sukarela yang mendapatkan upah setelah melakukan pekerjaan pembangunan yang berat, baik dalam proyek militer maupun pekerjaan umum.
Namun pada perkembangannya, sistem romusha berubah menjadi perbudakan yang menuntut banyak korban jiwa akibat perlakuan tidak manusiawi dari Jepang.
Berikut ini dampak positif dan negatif dari romusha.
Baca juga: Romusha: Pengertian, Latar Belakang, dan Tujuannya
Mulanya, romusha adalah tenaga sukarela untuk diikuti oleh para pengangguran.
Kepala desa atau camat setempat pun mendorong para pengangguran di wilayahnya agar mendaftarkan diri.
Pengerahan romusha di Indonesia menyerap jumlah pengangguran yang sangat tinggi.
Para romusha biasanya bekerja di wilayah keresidenan atau provinsi asal mereka sendiri dengan jangka waktu selama beberapa bulan saja.
Contohnya, para romusha dari Yogyakarta dikirim ke Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta sebagai buruh angkut.
Mereka mendapatkan upah, meski nominalnya sedikit, dan bisa dikirimkan ke keluarganya di kampung halaman.
Baca juga: Cara Pemerintah Jepang Merekrut Tenaga Romusha
Dampak pelaksanaan romusha bagi bangsa Indonesia lebih banyak negatifnya daripada sisi positifnya.
Berikut dampak negatif romusha pada beberapa bidang kehidupan rakyat Indonesia.
Salah satu dampak romusha bagi rakyat Indonesia adalah tingginya angka korban jiwa.
Pada perkembangannya, para romusha tidak hanya dipekerjakan di daerahnya, tetapi dimobilisasi secara paksa sampai ke luar pulau dan luar negeri.