Semua bermula dari tersiarnya kabar bahwa Belanda akan kembali menginvasi Indonesia pada Juli 1947 atau yang dikenal dengan Agresi Militer 1.
Menghadapi hal tersebut, pejuang Indonesia melakukan taktik bumi hangus yang membakar pusat perekonomian di Malang seperti pertokoan.
Diterapkannya taktik tersebut membuat sebagian orang untuk menjarah.
Baca juga: Peristiwa Bersejarah di Bulan Agustus
Terhitung sejak hari pertama Agresi Militer 1, yaitu pada 21 Juli 1947, kasus penjarahan terhadap pertokoan Tionghoa tercatat meningkat pesat.
Aksi penjarahan dilanjutkan dengan pembakaran.
Para pelaku menjarah dengan alasan supaya bangunan toko tersebut tidak dimanfaatkan oleh para pasukan Belanda yang akan melakukan agresinya.
Selaras dengan itu, pada hari sebelumnya, Residen Soenarko mengumumkan bahwa prajurit akan melakukan pertempuran hingga darah penghabisan.
Dalam pengumuman itu, disampaikan pula tidak adanya jaminan keselamatan bagi warga Tionghoa. Mereka harus menyelamatkan diri masing-masing.
Hal yang paling disesali oleh petinggi Indonesia di Malang, adalah membiarkan orang Tionghoa mengamankan diri sendiri tanpa adanya jaminan keamanan.
Singkatnya, hingga tanggal 31 Juli, penjarahan dan pembakaran yang bersamaan dengan aksi pengosongan masih terjadi. Beberapa laskar perjuangan juga terlibat dalam aksi tersebut.
Baca juga: Ini Alasan Bung Karno Membongkar Rumah Proklamasi
Dalam upaya tersebut, ada sekelompok Tionghoa berjumlah 30 orang digiring oleh sekelompok pemuda yang bersenjata api, bambu, klewang, ke sebuah Pabrik di Mergosono dan Gedang.
Orang Tionghoa ini dianggap mata-mata Belanda hanya karena memegang mata uang kertas NICA di tangan mereka.
Keesokan harinya, orang Tionghoa yang dibawa ke Gedung tersebut telah menjadi mayat yang mengenaskan.
Dari 30 orang yang dibawa, 4 orang dianggap berhasil melarikan diri dari peristiwa itu, sisanya mati mengenaskan, 21 orang dibunuh lalu dibakar secara bersamaan.
Baca juga: Peran Masyarakat Bengkulu pada Masa Revolusi Kemerdekaan
Referensi: