Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biografi Wiji Thukul, Penyair dan Aktivis Korban Penghilangan Paksa

Kompas.com - 06/01/2023, 08:00 WIB
Widya Lestari Ningsih

Penulis

KOMPAS.com - Wiji Thukul adalah seorang penyair sekaligus aktivis yang lantang menyuarakan kritik terhadap Pemerintah Orde Baru.

Melalui sajak-sajaknya, Wiji Thukul secara terang-terangan mengkritisi kondisi sosial dan politik, serta militerisme rezim Orde Baru.

Puisinya menyebar dan hidup, kata-katanya menjadi penggerak massa yang tertindas.

Mungkin karena itu, Wiji Thukul menjadi korban penghilangan paksa setelah sempat menjadi buronan intel pemerintah.

Wiji Thukul dilaporkan hilang pada awal 1998, dan hingga saat ini tidak diketahui rimbanya.

Berikut biografi singkat Wiji Thukul.

Baca juga: Hafidin Royan, Pahlawan Reformasi 1998

Lahir dengan nama Widji Widodo

Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 dengan nama Widji Widodo. Nama Thukul diberikan oleh Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh oleh penyair WS Rendra.

Wiji dan Thukul merupakan bahasa Jawa, yang masing-masing berarti biji dan tumbuh, sehingga Wiji Thukul bermakna biji yang tumbuh.

Wiji Thukul lahir di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah, yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai buruh dan tukang becak, seperti keluarganya.

Ia merupakan putra sulung dari tiga bersaudara, yang aktif menulis puisi sejak SD dan berteater sejak SMP.

Lulus SMP pada 1979, Wiji Thukul lanjut masuk Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, tetapi tidak tamat.

Ia berhenti sekolah untuk bekerja agar kedua adiknya bisa melanjutkan studi.

Mulai 1982, Wiji Thukul mengumpulkan pundi-pundi rupiah dengan berjualan koran dan bekerja di sebuah perusahaan mebel antik sebagai tukang pelitur.

Kendati demikian, ia tidak pernah meninggalkan dunia puisi dan teater. Wiiji Tukul diketahui pernah ikut kelompok Teater Jagalan Tengah (Jagat).

Bersama Teater Jagat, ia mengamen puisi dengan iringan musik di kampung-kampung di wilayah Solo, Klaten, Yogyakarta, bahkan hingga Surabaya.

Baca juga: 4 Penyanyi yang Pernah Dicekal pada Masa Orde Baru

Menikah dan menjadi aktivis

Pada Oktober 1988, Wiji Thukul menikah dengan Diah Sujirah atau akrab disapa Mbak Sipon.

Di tahun yang sama, ia pernah menjadi wartawan, tetapi hanya bertahan tiga bulan.

Wiji Thukul juga membantu istrinya dengan usaha sablon dan menjadi aktivis pembela masyarakat.

Namanya ada di barisan demonstran Kedungombo, Sritex, dan sejumlah demonstrasi besar di Solo.

Wiji Thukul ikut mendirikan Sanggar Suka Banjir, ruang kreativitas anak di pinggir kali yang sering banjir.

Sanggar ini juga menjadi alat untuk melawan ketidakadilan dan penindasan pemerintah.

Baca juga: Tragedi Kebakaran Mal Klender 1998

Dari puisi perjuangan hingga penghargaan

Satu hal yang tidak pernah ditinggalkan Wiji Thukul di tengah kesibukannya adalah menulis.

Ia tidak hanya menulis sajak, tetapi juga cerpen, esai, dan resensi puisi. Sajak-sajaknya diterbitkan di media cetak dalam negeri, maupun luar negeri.

Pada 1989, Wiji Thukul diundang membaca puisi oleh Goethe Institut di aula Kedutaan Besar Jerman di Jakarta.

Ia juga tampil di Pasar Malam Puisi yang diselenggarakan Erasmus Huis di Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta, pada 1991.

Di tahun yang sama, Wiji Thukul menerima Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda.

Bersama WS Rendra, Wiji Thukul menjadi penerima hadiah pertama sejak yayasan tersebut didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda, WF Wertheim.

Baca juga: Kondisi Jenazah 7 Pahlawan Revolusi, Tidak Seperti Narasi Orde Baru?

Satu yang khas dari Wiji Thukul adalah bahwa ia bukan menulis puisi tentang protes, melainkan sosoknya yang menjadi simbol akan protes itu sendiri.

Karena itu, kritik dan perlawanan terhadap rezim Orde Baru dalam sajak-sajaknya mudah melebur dalam setiap momen pergolakan dan berbagai aksi protes.

Kritik Wiji Thukul dalam karya-karyanya umumnya ditujukan pada masalah sosial, politik, dan militerisme era Orde Baru.

Perlawanan terhadap berbagai masalah sosial tampak dalam sajak Nyanyian Akar Rumput, Di Tanah Negeri Ini Milikmu Cuma Tanah Air, Kepada Ibuku, Jalan, Sajak Setumbu Nasi dan Sepiring Sayur, Tanah, Kampung, Jalan Slamet Riyadi Solo, dan masih banyak lainnya.

Sedangkan kritik terhadap militerisme pemerintah dituangkan pada sajak Ceritakanlah Ini Kepada Siapa Pun, Tetangga Sebelahku, Sajak Suara, Tikus, Merontokan Pidato, Derita Sudah Naik Seleher, Rumput Ilalang, Harimau, Buron, Aku Berkelana di Udara, dan masih banyak lainnya.

Salah satu kalimat Wiji Thukul yang sangat terkenal terdapat pada bait terakhir puisi berjudul Peringatan, yaitu "Hanya ada satu kata: Lawan!".

Kata "lawan", yang terpengaruh dari pusi berjudul Sumpah Bambu Runcing karya Pardi, temannya di teater Jagat, seakan menjadi roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa yang ingin melawan rezim otoriter dan militerisme Orde Baru.

Baca juga: Pemberedelan Media Massa pada Masa Orde Baru

Menjadi buronan intel pemerintah

Wiji Thukul adalah penyair yang gigih, baik dalam memperjuangkan gagasannya, maupun memperjuangkan kebenaran.

Ia juga gigih membela rakyat yang berhadapan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan dalam risiko apa pun.

Menurutnya, penyair harus berjiwa bebas dan aktif. Bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya.

Wiji Thukul diketahui bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pada 27 Juli 1996, terjadi peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli alias Kudatuli.

PRD di bawah pimpinan Budiman Sudjamitko dituding pemerintah melalui Kepala Staf Bidang Sosial dan Politik ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid, sebagai dalang di balik peristiwa itu.

Para aktivis PRD pun diburu, termasuk Wiji Thukul, yang berada di Solo sebagai Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), badan yang merapat ke PRD.

Baca juga: Daftar Aktivis yang Diculik dan Hilang Tahun 1997/1998

Wiji Thukul terpaksa meninggalkan istrinya Sipon dan kedua anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah, usai beberapa aparat kepolisian mendatangi rumahnya.

Dalam pelarian menghindari aparat dan intel pemerintah, Wiji Thukul berusaha mencuri kesempatan untuk bertemu istrinya, biasanya di Pasar Klewer, Solo.

Kesempatan itu digunakan Wiji Thukul mengabarkan beberapa daerah yang dikunjunginya.

Selama pelarian, ia menggunakan beberapa nama samaran, mulai dari Paulus, Aloysius, dan Martinus Martin.

Wiji Thukul hilang

Puisi perjuangan Wiji Thukul adalah peristiwa, bukan lagi sebatas kata-kata. Mungkin itulah yang membuat sosoknya dianggap berbahaya bagi pemerintah Orde Baru.

Pasalnya, pada masanya banyak kritik yang disuarakan seniman dan sastrawan.

Mereka biasanya dicekal atau diancam penjara, tetapi tidak sampai menjadi korban praktik penghilangan paksa.

Baca juga: Kisah Marsinah, Aktivis Buruh yang Dibunuh pada Masa Orde Baru

Hilangnya Wiji Thukul secara resmi diumumkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2000.

Siaran pers Kontras menyatakan bahwa Wiji Thukul hilang pada sekitar Maret 1998, yang diduga berkaitan dengan aktivitas politik yang dilakukannya.

Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan pemerintah.

Wiji Thukul menjadi salah satu dari 13 orang hilang menjelang tumbangnya rezim Orde Baru.

Sejak dinyatakan hilang sampai saat ini, keberadaan Wiji Thukul masih misteri.

Keluarga dan semua orang yang pernah mendengar namanya tidak pernah tahu apakah ia masih hidup atau sudah tiada.

 

Referensi:

  • Tim Buku TEMPO. (2013). Wiji Thukul: Teka-teki Orang Hilang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Abu Dujanah, Sahabat yang Membuat Nabi Muhammad Menangis

Abu Dujanah, Sahabat yang Membuat Nabi Muhammad Menangis

Stori
6 Peninggalan Kerajaan Ternate

6 Peninggalan Kerajaan Ternate

Stori
Alasan Umar bin Abdul Aziz Memerintahkan Pembukuan Hadis

Alasan Umar bin Abdul Aziz Memerintahkan Pembukuan Hadis

Stori
Pablo Picasso, Pelopor Karya Seni Rupa Kubisme

Pablo Picasso, Pelopor Karya Seni Rupa Kubisme

Stori
Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi Iran

Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi Iran

Stori
Sejarah Hari Kebangkitan Nasional

Sejarah Hari Kebangkitan Nasional

Stori
4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah

4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah

Stori
Biografi Sitor Situmorang, Sastrawan Angkatan 45

Biografi Sitor Situmorang, Sastrawan Angkatan 45

Stori
Peran Sunan Ampel dalam Mengembangkan Islam di Indonesia

Peran Sunan Ampel dalam Mengembangkan Islam di Indonesia

Stori
Sejarah Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung

Sejarah Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung

Stori
Sejarah Penemuan Angka Romawi

Sejarah Penemuan Angka Romawi

Stori
7 Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah

7 Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah

Stori
Natipij, Organisasi Kepanduan Islam Era Hindia Belanda

Natipij, Organisasi Kepanduan Islam Era Hindia Belanda

Stori
7 Situs Sejarah di Kabupaten Kediri

7 Situs Sejarah di Kabupaten Kediri

Stori
Sejarah Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Sejarah Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Stori
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com