KOMPAS.com - Pengepungan 68 hari adalah sebuah peristiwa yang terjadi sejak 1 Juli hingga 8 September 1965 atau yang juga dikenal sebagai Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah peristiwa perang persengketaan wilayah dan penolakan penggabungan wilayah Sabah, Sarawak, dan Brunei ke dalam Negara Federasi Malaysia.
Menjelang akhir 1965, gejolak politik dan ekonomi di Indonesia karut-marut pasca-peristiwa G30S.
Terjadinya G30S kemudian membuat Presiden Soekarno lengser dari jabatannya dan digantikan oleh Soeharto.
Permasalahan konfrontasi Indonesia-Malaysia atau pengepungan 68 hari berakhir setelah perjanjian Bangkok ditandatangani.
Baca juga: Konfrontasi Indonesia-Malaysia: Penyebab, Perkembangan, dan Akhirnya
Pada pertengahan abad ke-18, tanah Malaya sudah dikuasai oleh Inggris, sampai akhirnya mereka memutuskan memerdekakan Malaysia pada 8 Februari 1956.
Lima tahun setelahnya, pada 1961, muncul rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia.
Rencananya, Malaysia terbentuk dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sarawak, Brunei, dan Sabah.
Akan tetapi, rencana tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno.
Menurut Soekarno, pembentukan Negara Federasi Malaysia hanya akan menjadi boneka Inggris yang dapat mengancam kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya Indonesia, Filipina juga menolak pembentukan negara tersebut.
Akibat adanya pertentangan tersebut, terjadi Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang juga disebut sebagai pengepungan 68 hari.
Disebut sebagai pengepungan 68 hari karena peristiwa ini terjadi sejak 1 Juli 1965 hingga 8 September 1965.
Kala itu, militer Indonesia yang berkekuatan sekitar 5.000 orang terus berusaha melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna, tetapi berujung kegagalan.
Baca juga: Keluarnya Indonesia dari PBB pada 1965
Pada 31 Mei 1963, Presiden Soekarno bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Tuanku Abdul Rahman di Jepang.