Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kronologi Pengepungan 68 Hari

Kompas.com - 28/09/2022, 18:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

Sumber Kompas.com

KOMPAS.com - Pengepungan 68 hari adalah sebuah peristiwa yang terjadi sejak 1 Juli hingga 8 September 1965 atau yang juga dikenal sebagai Konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah peristiwa perang persengketaan wilayah dan penolakan penggabungan wilayah Sabah, Sarawak, dan Brunei ke dalam Negara Federasi Malaysia.

Menjelang akhir 1965, gejolak politik dan ekonomi di Indonesia karut-marut pasca-peristiwa G30S.

Terjadinya G30S kemudian membuat Presiden Soekarno lengser dari jabatannya dan digantikan oleh Soeharto.

Permasalahan konfrontasi Indonesia-Malaysia atau pengepungan 68 hari berakhir setelah perjanjian Bangkok ditandatangani.

Baca juga: Konfrontasi Indonesia-Malaysia: Penyebab, Perkembangan, dan Akhirnya

Latar belakang

Pada pertengahan abad ke-18, tanah Malaya sudah dikuasai oleh Inggris, sampai akhirnya mereka memutuskan memerdekakan Malaysia pada 8 Februari 1956.

Lima tahun setelahnya, pada 1961, muncul rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia.

Rencananya, Malaysia terbentuk dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sarawak, Brunei, dan Sabah.

Akan tetapi, rencana tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno.

Menurut Soekarno, pembentukan Negara Federasi Malaysia hanya akan menjadi boneka Inggris yang dapat mengancam kemerdekaan Indonesia.

Tidak hanya Indonesia, Filipina juga menolak pembentukan negara tersebut.

Akibat adanya pertentangan tersebut, terjadi Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang juga disebut sebagai pengepungan 68 hari.

Disebut sebagai pengepungan 68 hari karena peristiwa ini terjadi sejak 1 Juli 1965 hingga 8 September 1965.

Kala itu, militer Indonesia yang berkekuatan sekitar 5.000 orang terus berusaha melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna, tetapi berujung kegagalan.

Baca juga: Keluarnya Indonesia dari PBB pada 1965

Kronologi

Pada 31 Mei 1963, Presiden Soekarno bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Tuanku Abdul Rahman di Jepang.

Pertemuan tersebut kemudian dilanjutkan lewat Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri di Manila, Filipina, pada 7 hingga 11 Juni 1963.

Lewat pertemuan itu, Filipina dan Indonesia pada akhirnya menyetujui pembentukan Negara Federasi Malaysia.

Namun, pada 16 September, Malaysia justru melihat pembentukan federasi ini akan membawa masalah dalam negeri.

Presiden Soekarno yang melihat tindakan Malaysia pun merasa bahwa ini merupakan suatu pelanggaran dan bukti adanya neokolonialisme Inggris.

Terlebih, pada 17 September 1963, terjadi demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang disebabkan keputusan Presiden Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia.

Hal ini juga mengikuti pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia, Soebandrio, yang memutuskan mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963.

Amarah Presiden Soekarno pun memuncak setelah mendapati para demonstran anti-Indonesia menginjak-injak lambang negara Indonesia.

Untuk membalas tindakan mereka, Presiden Soekarno melakukan gerakan Ganyang Malaysia.

Ganyang Malaysia di IndonesiaWikimedia Commons Ganyang Malaysia di Indonesia

Lebih lanjut, pada 1964, pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya.

Kemudian, pada Mei 1964, dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia atau Operasi Dwikora.

Bahkan, permasalahan ini sampai membuat Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena Soekarno merasa kecewa dengan cara PBB menyelesaikan konflik dengan Malaysia.

Pertempuran antara Indonesia dengan Malaysia terus berlanjut hingga 1965.

Bahkan, permasalahan ini sampai membuat Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena Soekarno merasa kecewa terhadap cara PBB menyelesaikan konflik dengan Malaysia.

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan militer resmi.

Lalu, pada 28 Juni 1965, pasukan Indonesia menyebrang masuk ke timur Pulau Sebatik, Kalimantan.

Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan lebih dari 5.000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna.

Malaysia pun dikepung dan diserang terus-terusan selama 68 hari, hingga 8 September 1965.

Akan tetapi, upaya pengepungan ini pada akhirnya mengalami kegagalan.

Baca juga: Kembalinya Indonesia ke PBB

Akhir

Menjelang akhir 1965, kondisi politik dan ekonomi Indonesia semakin kacau karena terjadi peristiwa Gerakan 30 September atau G30S.

Salah satu dampak G30S adalah lengsernya Presiden Soekarno dan digantikan oleh Soeharto.

Runtuhnya kekuatan Soekarno pun diikuti dengan berakhirnya Konfrontasi Indonesia-Malaysia, terutama setelah menyepakati Persetujuan Bangkok.

Melalui Persetujuan Bangkok, Indonesia dan Malaysia setuju untuk memulihkan hubungan diplomatik dan menghentikan konflik.

Setelah Persetujuan Bangkok disepakati, diadakan pertemuan lanjutan guna menandatangani Jakarta Accord pada 11 Agustus 1966.

Jakarta Accord adalah perjanjian perdamaian yang dibuat Indonesia dan Malaysia.

Kemudian, pada 28 September 1966, Indonesia bergabung kembali ke dalam PBB dan hubungan antara Indonesia-Malaysia semakin membaik.

 

Referensi:

  • Jones, M. (2002). Conflict and Confrontation with Indonesia, 1961-1965. London: I.B.Tauris.
  • Dahana, A. dkk. (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 7: Pascarevolusi. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
  • Irawan. (2018). Sejarah Diplomasi Indonesia. Klaten: Penerbit Cempaka Putih.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com