Saat itu, nama Bung Tomo atau Sutomo belum begitu terkenal. Ia hanya dikenal sebagai seorang yang tergabung dapa pergerakan rakyat.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo turut serta dalam pengepungan gudang mesio Don-Bosco milik Jepang.
Usaha tersebut berhasil dan para pejuang mampu menguasai dan merebut senjata miliki tentara Jepang.
Baca juga: Tokoh Pemuda yang Merobek Bendera Belanda di Surabaya
Kemudian, pada Oktober dan November 1945, Bung Tomo berupaya membangkitkan semangat arek-arek Suroboyo.
Keadaan yang memanas setelah penyerangan Hotel Yamato pada 27 Oktober 1945 dan tewasnya Mallaby, membuat kota Surabaya dalam keadaan berbahaya.
Pascatewasnya Mallaby, rakyat Surabaya mendapat ultimatum untuk segera menyerahkan senjata kepada pihak Sekutu yang saat itu diwakili oleh Inggris.
Ultimatum tersebut dibalas Bung Tomo dengan seruan yang membakar semangat arek-arek Suroboyo.
Melalui siaran radio, Bung Tomo dengan semangat berapi-api mengajak rakyat Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Adapun kutipan dari orasi Bung Tomo melalui siaran radio adalah sebagai berikut ini:
"Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: Merdeka atau Mati!".
Hingga akhirnya, pada 10 November 1945, pecahlah perang antara rakyat Surabaya dengan tentara Inggris.
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Setelah era revolusi fisik atau perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo sempat terjun ke dunia politik.
Ia menjadi menteri di Kabinet Burhanudin, yakni Dwikora I dan Dwikora II.
Hingga akhirnya, Bung Tomo meninggal dunia di Mekkah, Arab Saudi, pada 7 Oktober 1981.
Bung Tomo meninggal di Mekkah ketika ia sedang melaksanakan ibadah haji.
Referensi: