Sebenarnya, sejak kecil, Suardi Tasrif kagum dan tertarik pada masalah sosial dan hukum.
Hal itu disebabkan oleh dua tokoh pengacara, yakni Sastra Mulyana dan Mr. Ishaq Cokrohadisuryo, yang membela Bung Karno di Pengadilan Kolonial Belanda pada 1930-an.
Selain itu, Suardi Tasrif juga pernah menjadi seorang penyiar radio Suara Indonesia yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwana IX.
Saat itu, Suardi Tasrif menjadi penyiar radio Republik Indonesia bagian berita luar negeri.
Selain di kenal sebagai sastrawan, Suardi Tasrif juga dikenal sebagai wartawan.
Hal itu dibuktikan ketika ia bersama Usmar Ismail mengelola majalah Tentara dan Arena di Yogyakarta.
Pada 1958, Suardi Tasrif juga sempat menjabat sebagai pimpinan redaksi surat kabar Harian Abadi.
Sayangnya, Surat Kabar Harian Abadi diberedel oleh pemerintahan Orde Lama.
Ketika menjadi wartawan, Suardi Tasrif merupakan orang pertama yang mengajarkan bahwa berita harus berdasarkan fakta yang lepas dari opini.
Ia juga menganut sistem bahwa wartawan pantang menerima imbalan atas penulisan beritanya.
Adapun gagasan Suardi Tasrif tersebut tertuang dalam kode etik jurnalistik pada 1954.
Suardi Tasrif juga sempat menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin).
Selain itu, ia juga turut memperjuangkan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada 1970.
Karier Suardi Tasrif di bidang jurnalistik dan hukum berakhir ketika ia meninggal dunia pada 24 April 1991.
Ia meninggal dunia di Jakarta pada usia 69 tahun.
Setelah itu, namanya diabadikan oleh organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam bentuk penghargaan Suardi Tasrif Award.
Adapun penghargaan Suardi Tasrif Award diberikan setiap tahun oleh AJI Indonesia kepada warga Indonesia yang dianggap berjasa dan berkontribusi bagi kebebasan pers dan kemajuan pers Indonesia.
Referensi: