Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

4 Perempuan Pemimpin Kesultanan Aceh

Kompas.com - 03/08/2022, 15:00 WIB
Lukman Hadi Subroto,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

Naqiatuddin resmi menjadi pemimpin Kesultanan Aceh pada 23 Oktober 1675 setelah Sultanah Safiatuddin meninggal dunia. Ia naik takhta dengan gelar Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin.

Di awal pemerintahannya Sultanah Naqiatuddin harus menghadapi ancaman dari dalam maupun luar negerinya.

Baca juga: Sultanah Naqiatuddin, Pemimpin Perempuan Aceh yang Ditentang

Ancaman yang datang dari luar adalah adanya bangsa Inggris, Portugis, dan Belanda yang ingin menguasai jalur perdagangan Selat Malaka dan pantai barat Sumatra.

Sedangkan dari dalam negeri, ancaman datang dari kaum Wujudiyah yang menganggap Kesultanan Aceh telah menyimpang dari ajaran Islam.

Kaum Wujudiyah menghendaki Kesultanan Aceh dipimpin oleh laki-laki lagi. Selain itu mereka juga melakukan sabotase dengan membakar kota Banda Aceh.

Tantangan di awal pemerintahannya ini membuat Sultanah Naqiatuddin kesulitan untuk membangun perekonomian rakyat.

Namun, ia selalu berusaha agar bisa keluar dari persoalan yang menghadang jalannya pemerintahan.

Salah satu cara yang dilakukan Sultanah Naqiatuddin adalah menyempurnakan Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam.

Kanun Al-Asyi ini merupakan undang-undang dasar kerajaan untuk menekan oposisi.

Pada akhirnya, Sultanah Naqiatuddin meninggal dunia pada tahun 1088 H atau 1678 di Banda Aceh.

Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah

Menurut ulama besar Aceh, Nuruddin Ar-Raniry, dalam kitabnya Bustanus Salatin, Sultanah Zaqiatuddin memiliki nama kecil Putri Raja Setia binti Sultan Muhammad Syah.

Zaqiatuddin merupakan ratu atau sultanah ketiga dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.

Ia menggantikan Sultanah Naqiatuddin Syah yang turun takhta pada tahun 1678. Zaqiatuddin dilantik menjadi Sultanah Aceh pada 23 Januari 1678.

Setelah dilantik menjadi sultanah Aceh, Zaqiatuddin mendapat gelar Paduka Seri Sultanah Inayat Syah Berdaulat Zil Allah Fir Alam.

Pada tahun 1683, Sultanah Zaqiatuddin menerima Al-Hajj Yusuf E. Qodri, seorang utusan raja Syarif Barakat dari Mekkah, Arab Saudi.

Al-Hajj Yusuf kagum dengan Aceh yang indah dan permai. Selain itu Al-Hajj Yusuf juga kagum karena Aceh memiliki banyak saudagar.

Baca juga: Zaqiatuddin Inayat Syah, Ratu Aceh yang Berani Tolak Inggris

Di sisi lain, Zaqiatuddin sebenarnya sangat tegas. Salah satu bentuk ketegasan Sultanah Zaqiatuddin dalam menjaga kedaulatan Kesultanan Aceh terlihat pada tahun 1684.

Pada tahun itu, Inggris datang dan meminta izin untuk mendirikan kantor perwakilan dagang dan membangun benteng di Aceh.

Namun, permintaan tersebut ditolak oleh sultanah. Sultanah Zaqiatuddin mengatakan bahwa Inggris boleh berdagang tapi tidak untuk membangun benteng sendiri.

Utusan Inggris yang menghadap ke Sultanah mencatat bahwa saat itu, pemimpin Aceh tersebut berusia sekitar 40-an dan memiliki fisik yang tegap dan suara yang lantang.

Sultanah Zaqiatuddin memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 10 tahun, mulai tahun 1678 hingga 1688.

Ia kemudian meninggal dunia pada 3 Oktober 1688. Tampung kepemimpinan Aceh kemudian diteruskan oleh Zainatuddin Kamalat Syah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com