Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

4 Perempuan Pemimpin Kesultanan Aceh

Kompas.com - 03/08/2022, 15:00 WIB
Lukman Hadi Subroto,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kesultanan Aceh yang didirikan pada tahun 1496 pernah dipimpin oleh 4 orang perempuan.

Para pemimpin perempuan tersebut memerintah Kesultanan Aceh secara berurutan, mulai dari Sultanah Safiatuddin (1641-1675), Sultanah Naqiatuddin (1675-1678), Sultanah Zaqiatuddin (1678-1688), dan Sultanah Zainatuddin (1688-1699).

Masa kepemimpinan mereka diwarnai konflik politik. 

Hal itu disebabkan oleh tradisi yang mengharuskan laki-laki yang wajib menjadi pemimpin. Selain itu, hukum Islam juga menjadi dasar mengapa perempuan dilarang menjadi pemimpin.

Namun, faktanya keempat perempuan tersebut mencatatkan sejarah sebagai pemimpin salah satu kerajaan Islam terbesar di masanya.

Sultanah Safiatuddin

Safiatuddin lahir di Aceh pada tahun 1612. Ia adalah anak tertua dari Sultan Iskandar Muda.

Ia diberi nama oleh Sultan Iskandar Muda Putri Sri Alam dengan gelar Safiatuddin Tajul Alam.

Setelah kematian Sultan Iskandar Muda pada tahun 1641 muncul gejolak dalam mencari pengganti pemimpin Kesultanan Aceh.

Baca juga: Safiatuddin, Pemimpin Perempuan Pertama Kesultanan Aceh

Gejolak tersebut berhasil diredam oleh Nurrudin Ar-Raniri, ia berpendapat bahwa kualitas seperti amanah, adil, dan memiliki keluasan ilmu ada dalam Safiatuddin.

Berkat Nurrudin Ar-Raniri, Safiatuddin akhirnya naik takhta dan menjadi Sultanah Kesultanan Aceh pada tahun 1641 dan mendapat gelar Tajul Alam Safiatuddin Syah.

Safiatuddin memiliki beban warisan kejayaan yang sangat berat. Hal itu didasarkan pada kejayaan Aceh di era kepemimpinan Ayahnya, Sultan Iskandar Muda.

Di masa kepemimpinannya, Aceh membangun aliansi dan mencari dukungan untuk memperkuat kedaulatan.

Bahkan diplomasi yang diusung oleh Safiatuddin berhasil mencegah Aceh dari invasi bangsa asing.

Sebagai pemimpin Kesultanan Aceh, Safiatuddin juga memikirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya. Ia tercatat memajukan Jami' Baiturrahman di Banda Aceh.

Safiatuddin juga membangun berbagai pesantren di seluruh wilayah Kesultanan Aceh.

Sultanah Safiatuddin juga membuka lembaga pendidikan bagi perempuan yang kemudian membuka kesempatan kaum hawa untuk turut andil bekerja di berbagai profesi yang memungkinkan.

Bahkan di era kepemimpinan Safiatuddin, Majelis Mahkamah Rakyat tak melulu diisi kaum lelaki, perempuan diberi kesempatan masuk di parlemen tersebut.

Kesultanan Aceh di era kepemimpinan Sultanah Safiatuddin bisa dibilang mengalami kemajuan dibidang politik, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Hal itu merupakan pengabdian dan kerja keras sebagai pemimpin perempuan.

Sultanah Safiatuddin akhirnya turun takhta pada tahun 1675 karena meninggal dunia pada usia 63 tahun.

Sultanah Naqiatuddin

Sultanah Naqiatuddin merupakan anak dari Malik Radiat Syah yang berasal dari Aceh. Ia memiliki nama kecil Putri Naqiah.

Tidak diketahui kapan Naqiatuddin Nurul Alam lahir. Namun ia memimpin Kesultanan Aceh setelah meninggalnya Sultanah Safiatuddin.

Naqiatuddin resmi menjadi pemimpin Kesultanan Aceh pada 23 Oktober 1675 setelah Sultanah Safiatuddin meninggal dunia. Ia naik takhta dengan gelar Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin.

Di awal pemerintahannya Sultanah Naqiatuddin harus menghadapi ancaman dari dalam maupun luar negerinya.

Baca juga: Sultanah Naqiatuddin, Pemimpin Perempuan Aceh yang Ditentang

Ancaman yang datang dari luar adalah adanya bangsa Inggris, Portugis, dan Belanda yang ingin menguasai jalur perdagangan Selat Malaka dan pantai barat Sumatra.

Sedangkan dari dalam negeri, ancaman datang dari kaum Wujudiyah yang menganggap Kesultanan Aceh telah menyimpang dari ajaran Islam.

Kaum Wujudiyah menghendaki Kesultanan Aceh dipimpin oleh laki-laki lagi. Selain itu mereka juga melakukan sabotase dengan membakar kota Banda Aceh.

Tantangan di awal pemerintahannya ini membuat Sultanah Naqiatuddin kesulitan untuk membangun perekonomian rakyat.

Namun, ia selalu berusaha agar bisa keluar dari persoalan yang menghadang jalannya pemerintahan.

Salah satu cara yang dilakukan Sultanah Naqiatuddin adalah menyempurnakan Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam.

Kanun Al-Asyi ini merupakan undang-undang dasar kerajaan untuk menekan oposisi.

Pada akhirnya, Sultanah Naqiatuddin meninggal dunia pada tahun 1088 H atau 1678 di Banda Aceh.

Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah

Menurut ulama besar Aceh, Nuruddin Ar-Raniry, dalam kitabnya Bustanus Salatin, Sultanah Zaqiatuddin memiliki nama kecil Putri Raja Setia binti Sultan Muhammad Syah.

Zaqiatuddin merupakan ratu atau sultanah ketiga dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.

Ia menggantikan Sultanah Naqiatuddin Syah yang turun takhta pada tahun 1678. Zaqiatuddin dilantik menjadi Sultanah Aceh pada 23 Januari 1678.

Setelah dilantik menjadi sultanah Aceh, Zaqiatuddin mendapat gelar Paduka Seri Sultanah Inayat Syah Berdaulat Zil Allah Fir Alam.

Pada tahun 1683, Sultanah Zaqiatuddin menerima Al-Hajj Yusuf E. Qodri, seorang utusan raja Syarif Barakat dari Mekkah, Arab Saudi.

Al-Hajj Yusuf kagum dengan Aceh yang indah dan permai. Selain itu Al-Hajj Yusuf juga kagum karena Aceh memiliki banyak saudagar.

Baca juga: Zaqiatuddin Inayat Syah, Ratu Aceh yang Berani Tolak Inggris

Di sisi lain, Zaqiatuddin sebenarnya sangat tegas. Salah satu bentuk ketegasan Sultanah Zaqiatuddin dalam menjaga kedaulatan Kesultanan Aceh terlihat pada tahun 1684.

Pada tahun itu, Inggris datang dan meminta izin untuk mendirikan kantor perwakilan dagang dan membangun benteng di Aceh.

Namun, permintaan tersebut ditolak oleh sultanah. Sultanah Zaqiatuddin mengatakan bahwa Inggris boleh berdagang tapi tidak untuk membangun benteng sendiri.

Utusan Inggris yang menghadap ke Sultanah mencatat bahwa saat itu, pemimpin Aceh tersebut berusia sekitar 40-an dan memiliki fisik yang tegap dan suara yang lantang.

Sultanah Zaqiatuddin memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 10 tahun, mulai tahun 1678 hingga 1688.

Ia kemudian meninggal dunia pada 3 Oktober 1688. Tampung kepemimpinan Aceh kemudian diteruskan oleh Zainatuddin Kamalat Syah.

Sultanah Zainatuddin

Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah berasal dari keluarga Sultan Aceh. Namun tidak diketahui secara pasti ia keturunan sultan yang mana.

Sejarawan Aceh, M Gade Ismail dan Rusdi Sufi mengungkapkan bahwa silsilah Sultanah Zainatuddin terdapat perbedaan.

Ada yang menyebutkan ia adalah anak angkat dari Sultanah Safiatuddin, perempuan pertama yang memimpin Kesultanan Aceh.

Riwayat lain menyebutkan bahwa Sultanah Zainatuddin merupakan adik dari Sultanah Zaqiatuddin.

Di era kepemimpinan Sultanah Zainatuddin dipenuhi dengan intrik internal Kesultanan Aceh.

Hal ini disebabkan oleh kelompok bangsawan Aceh yang tidak menginginkan perempuan sebagai pemimpin.

Baca juga: Sultanah Zainatuddin, Ratu Terakhir Kesultanan Aceh yang Dilengserkan

Salah satu alasannya adalah, menurut kelompok bangsawan, Islam melarang perempuan menjadi pemimpin.

Meski Sultanah Zainatuddin sudah resmi menjadi pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam, kelompok bangsawan berusaha mencari celah untuk melengserkannya.

Salah satu caranya adalah dengan meminta fatwa ke Mekkah terkait hukum seorang wanita menjadi pemimpin.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa perempuan haram hukumnya menjadi pemimpin.

Munculnya fatwa tersebut kemudian memicu perdebatan yang akhirnya berimbas pada ruang politik Kesultanan Aceh.

Meski terdapat konflik politik di internal Kesultanan Aceh, Sultanah Zainatuddin tetep melaksanakan kewajibannya sebagai pemimpin kerajaan.

Salah satu contohnya adalah hubungan dagang yang dilakukan Aceh dengan Perancis pada tahun 1695. Aceh juga berdagang dengan Inggris melalui East Indian Comapany (EIC).

Di era kepemimpinan Sultanah Zainatuddin, ia mengeluarkan mata uang emas atau dirham.

Meski berhasil melakukan hubungan dagang yang menguntungkan bagi Kesultanan Aceh, konflik politik di dalam Kesultanan Aceh terus terjadi.

Konflik tersebut berlangsung hingga Sultanah Zainatuddin Kemalat Syah dilengserkan.

Ia dilengserkan dari jabatannya sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam pada bulan Oktober 1699.

Setahun kemudian, pada tahun 1700, Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah meninggal dunia.

Kesultanan Aceh kemudian dipimpin oleh pria keturunan Arab, yakni Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jalam Ad-Din.

 

Referensi:

  • Magdalene. (2022). Her Story: Perempuan Nusantara di Tepi Sejarah. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com