KOMPAS.com - Perundingan Hooge-Veluwe adalah perundingan antara Indonesia-Belanda yang berlangsung sejak 14-24 April 1946 di Hooge-Veluwe, Belanda.
Tujuan perundingan ini adalah membahas mengenai status kenegaraan, kemerdekaan, serta wilayah Indonesia.
Namun, Perundingan Hooge-Veluwe berujung pada kebuntuan hingga perlu dilanjutkan dalam Perundingan Linggarjati.
Kendati begitu, perundingan ini tetap memberikan pengaruh bagi Indonesia-Belanda.
Lantas, apa saja dampak Perundingan Hooge-Veluwe?
Baca juga: Perundingan Hooge-Veluwe (1946)
Sebelum Perundingan Hooge-Veluwe dilaksanakan, Indonesia dan Belanda lebih dulu menandatangani naskah kesepahaman yang disebut Draft Jakarta pada 27 Maret 1946.
Isi Draft Jakarta adalah Belanda mengakui secara de facto pemerintahan Indonesia yang mencakup Jawa dan Sumatera.
Draft Jakarta inilah yang kemudian menjadi acuan berlangsungnya Perundingan Hooge-Veluwe.
Perundingan Hooge-Veluwe dimulai pada 14 April 1946, yang berlangsung panjang dan rumit.
Inggris menjadi penengah dalam perundingan dengan mengirimkan Sir Archibald Clark Kerr.
Sementara Indonesia mengirimkan tiga perwakilan, yaitu W Soewandi, Sudarsono, dan AK Pringgodigdo.
Sedangkan Belanda mengirimkan Van Mook, Van Royen, Idenburg, Van Asbeck, Sultan Hami dII, Soeria Santoso dan Logeman.
Baca juga: Alasan Perjanjian Linggarjati Berdampak pada Lengsernya Sutan Sjahrir
Sayangnya, sewaktu perundingan berlangsung, Belanda membatalkan naskah Draft Jakarta secara sepihak.
Alhasil, Perundingan Hooge-Velowe berujung pada kegagalan. Inggris mendesak Belanda untuk melanjutkannya ke Perundingan Linggarjati.
Tujuan dari desakan Inggris adalah karena ingin tentaranya pulang dalam kondisi damai.