KOMPAS.com - Sejak zaman pendudukan Inggris dan Belanda, rakyat pribumi menjalani kebijakan pertanahan yang merugikan.
Pada masa pendudukan Inggris, diterapkan kebijakan land rent system (landlijk stelsel) atau sistem sewa tanah.
Sementara pada zaman pendudukan Belanda, diterapkan kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa.
Kedua kebijakan ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengambil keuntungan dari Tanah Air.
Namun, apa perbedaan antara Land Rent System dengan Cultuurstelsel?
Baca juga: Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, Kritik, dan Dampak
Land Rent System adalah sistem sewa tanah atau pajak yang dicetus oleh Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles.
Thomas Stamford Raffles memimpin Inggris di Indonesia sejak 1811-1816.
Tugas utama Raffles saat itu adalah mengatur serta meningkatkan perdagangan dan keuangan.
Oleh sebab itu, Raffles mencanangkan program sistem sewa tanah karena ia menganggap bahwa salah satu pemilik tanah yang sah hanyalah pemerintah.
Dengan demikian, sudah seharusnya jika penduduk Jawa menjadi penyewa dan harus membayar pajak sewa tanah yang diolahnya.
Baca juga: Land Rent System: Pengertian, Pencetus, dan Pelaksanaannya
Berbeda dengan land rent system, kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa diterapkan oleh Gubernur Letnan Jenderal Belanda Van den Bosch sejak 1831-1867.
Sistem tanam paksa adalah gabungan dari aturan kewajiban menanam tanaman ekspor yang kemudian harus diserahkan kepada VOC lewat sistem sewa tanah.
Alasan kenapa Belanda menanam tanaman ekspor mereka di Indonesia, karena Indonesia memiliki tanah yang subur, sehingga Belanda ingin memanfaatkannya supaya mendapat keuntungan dari sana.
Thomas Stamford Raffles membuat aturan terkait kebijakan land rent system yang ia terapkan, yaitu:
Baca juga: Kebijakan Raffles di Indonesia
Sementara untuk aturan dari sistem tanam paksa adalah sebagai berikut: