KOMPAS.com - Selama masa pemerintahannya (1816-1942), pemerintah Belanda menerapkan berbagai kebijakan, salah satunya tanam paksa untuk mengekploitasi sumber daya alam dan manusia di Indonesia.
Sistem tersebut mulai berlaku pada 1830, di bawah pimpinan Gubernur Jenderal, Johannes van den Bosch.
Sistem tanam paksa ini memaksa para petani pribumi untuk menanam komoditas ekspor dengan suka rela.
Dalam pelaksanaanya, sistem tanam paksa ditulis dalam Stadsblad atau lembaran negara tahun 1834 No 22.
Namun, dalam pelaksanaanya terjadi penyimpangan sistem tanan paksa yang dilakukan pemerintah Belanda.
Baca juga: Dampak Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia
Berdasarkan buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, penyimpangan sistem tanam paksa yang terjadi di antaranya:
Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo dalam bukunya Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi (1991), menjelaskan penyimpangan tanam paksa pada pembagian tanah.
Bagian tanah yang diminta untuk ditanami tanaman ekspor melebihi dari seperlima bagian sepertui yang ditentutakan. Misalnya sampai sepertiga atau setengah bagian, bahkan sering seluruh tanah menjadi tanaman ekspor.
Baca juga: Di Manakah Tanam Paksa Dilaksanakan?
Pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut jumlah yang diserahkan. Pengerahan tenaga kerja perkebunan ke tempat-tempat yang jauh dari desa tempat tinggal penduduk juga tidak diberi upah sepadan.
Bahkan banyak pekerja atau petani yang tidak hanya menanam dan memanen tanaman ekspor, tetapi juga kerja rodi di pabrik-pabrik tanpa tambahan upah.
Beberapa contoh kasus penyimpangan terkait pengerahan tenaga kerja, yaitu: