Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyimpangan Sistem Tanam Paksa di Indonesia

Kompas.com - 02/02/2021, 15:49 WIB
Serafica Gischa

Penulis

KOMPAS.com - Selama masa pemerintahannya (1816-1942), pemerintah Belanda menerapkan berbagai kebijakan, salah satunya tanam paksa untuk mengekploitasi sumber daya alam dan manusia di Indonesia.

Sistem tersebut mulai berlaku pada 1830, di bawah pimpinan Gubernur Jenderal, Johannes van den Bosch.

Sistem tanam paksa ini memaksa para petani pribumi untuk menanam komoditas ekspor dengan suka rela.

Dalam pelaksanaanya, sistem tanam paksa ditulis dalam Stadsblad atau lembaran negara tahun 1834 No 22.

Namun, dalam pelaksanaanya terjadi penyimpangan sistem tanan paksa yang dilakukan pemerintah Belanda.

Baca juga: Dampak Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia

Berdasarkan buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, penyimpangan sistem tanam paksa yang terjadi di antaranya:

  1. Tanah petani yang ditanami komoditas ekspor lebih dari 1/5 atau seperlima bagian. Hal ini agar pejabat residen dan kaum priayi mendapatkan bonus dari hasil prosenan tanaman.
  2. Tanah yang telah ditanami tanaman wajib dikenakan pajak oleh pejabat residen.
  3. Waktu tanam dari tanaman wajib, melebihi ketentuan yang seharusnya kurang dari 66 hari.
  4. Petani bertanggung jawab penuh atas kerugian akibat gagal panen.
  5. Sisa kelebihan panen dari jumlah pajak tidak dikembalikan kepada petani.

Penyimpangan pembagian tanah 

Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo dalam bukunya Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi (1991), menjelaskan penyimpangan tanam paksa pada pembagian tanah.

Bagian tanah yang diminta untuk ditanami tanaman ekspor melebihi dari seperlima bagian sepertui yang ditentutakan. Misalnya sampai sepertiga atau setengah bagian, bahkan sering seluruh tanah menjadi tanaman ekspor.

Baca juga: Di Manakah Tanam Paksa Dilaksanakan?

Pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut jumlah yang diserahkan. Pengerahan tenaga kerja perkebunan ke tempat-tempat yang jauh dari desa tempat tinggal penduduk juga tidak diberi upah sepadan.

Bahkan banyak pekerja atau petani yang tidak hanya menanam dan memanen tanaman ekspor, tetapi juga kerja rodi di pabrik-pabrik tanpa tambahan upah.

Beberapa contoh kasus penyimpangan terkait pengerahan tenaga kerja, yaitu:

  1. Di Rembang sebanyak 34.000 keluarga dipaksa untuk bekerja di lahan penanaman tanaman ekspor selama delapan bulan, dengan upah rendah, yaitu toga duit sehari.
  2. Sejumlah penduduk Priangan dikerahkan untuk penanaman nila atau indigo di lokasi yang jaraknya jauh dengan tempat tinggal selama tujuh bulan tanpa upah tambahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com