Sadar akan hal tersebut, Direktur Perkebunan Hindia Belanda menyurati Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada 1846.
Menaggapi surat tersebut, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan ahli kehutanan yang dipimpin J Mollier untuk mengelola hutan di Jawa.
Hasilnya, Jawatan Kehutanan dihidupkan dan pemerintah Belanda mengeluarkan UU Kehutanan Jawa Madura.
UU itu mengatur pengelolaan hutan, mulai dari pembagian kawasan, pengelolaan, larangan, dan hukuman.
Selain itu, UU tersebut juga mengakui bahwa hutan berpengaruh pada iklim, perlindungan aliran sungai hingga kesejahteraan sosial.
Baca juga: Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, Kritik, dan Dampak
Ketika Jepang menduduki Indonesia, mereka memobilisasi rakyat untuk membuka hutan. Tujuannya untuk pertanian serta memasok kayu dan arang sebagai kebutuhan bahan bakar dan industri.
Proyek terbesar saat pemerintah Jepang mendatangkan petani yang tak memiliki tanah di pesisir Jawa. Mereka didatangkan untuk membabat hutan dan membuka desa baru seluas 1.500 hektar yang dinamakan Yamada.
Akibat pembabatan hutan besar-besaran itu sistem ekologi terganggu dan sering menyebabkan banjir. Selain itu, kesejahteraan masyarakat lokal terabaikan karena penebangan hutan itu difokuskan untuk mendukung Angkatan Laut Jepang.
Meskipun hanya menguasai selama tiga tahun, namun tingkat kerusakan hutan sangat parah. Sementara itu upaya untuk mereboisasi nyaris tidak ada.
Referensi: