KOMPAS.com - Penculikan aktivis 1997/1998 adalah penculikan aktivis pro-demokrasi yang terjadi antara Pemilu Legislatif Indonesia 1997 dan jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998.
Kasus penculikan aktivis 1997/1998 dilakukan oleh tim khusus bernama Tim Mawar, yang dibentuk oleh Mayor Bambang Kristiono.
Dari kasus penculikan ini, terdapat 13 aktivis yang masih hilang dan sembilan aktivis dilepas oleh penculiknya.
Baca juga: Tim Mawar, Penculik Para Aktivis 1998
Sejak Peristiwa 27 Juli 1996, saat para preman didukung tentara merampas kantor dan menyerang simpatisan PDI pro-Megawati di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, ABRI memburu kelompok tersebut yang disebut radikal.
Kelompok ini berniat untuk menggagalkan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR.
Hal itulah yang kemudian membuat Danjen Kopassus Mayor Jenderal Prabowo Subianto menugaskan secara khusus melalui perintah lisan kepada Mayor Bambang Kristiono, Komandan Batalyon 42 di bawah Gurp 4/Sandi Yudha Kopassus.
Tugas tim adalah untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai kegiatan kelompok radikal tersebut.
Mayor Bambang kemudian memanggil Kapten Fauzani Syahril Multhazar, Kapten Nugroho Sulistyo Budi, Kapten Yulius Selvanus, dan Kapten Dadang Hendra Yudha untuk menganalisis informasi dan membentuk tim khusus pada pertengahan Juli 1997.
Terdapat tiga tim yang dibentuk oleh Mayor Bambang, salah satunya yang paling genting yaitu Tim Mawar
Tim Mawar bertugas untuk mendeteksi kelompok radikal, pelaku aksi kerusuhan dan terror.
Bambang memerintahkan Kapten Fauzani memilih para komandan detasemen dan beberapa nama bintara anggota Yon-42 untuk terlibat dalam Tim Mawar.
Mereka yang dipilih adalah Kapten Untung Budi Harto, Kapten Djaka Budi Utama, Kapten Fauka Noor Farid, Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto, dan Sertu Sukadi.
Usai Tim Mawar dibentuk, mereka pun mulai menjalankan operasi.
Pada 18 Januari 1998, terjadi peristiwa ledakan di Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
Kejadian tersebut kemudian membuat Tim Mawar mengintensifkan kerja mereka.
Tim Mawar Menyusun rencana penangkapan sejumlah aktivis yang dicurigai terlibat bom yang tak sengaja meledak.
Mayor Bambang mendapatkan data bahwa terdapa sembilan nama yang diprioritaskan untuk ditangkap oleh Tim Mawar.
Mereka adalah:
Tim Mawar telah menyiapkan tempat penyekapan sekaligus markas Tim Mawar di Pos Komando Taktis (Poskotis) di Markas Kopassus, Cijatung.
Markas tersebut terdiri dari ruang rapat, ruang interogasi, dan enam sel.
Baca juga: Operasi Trikora, Upaya Indonesia Merebut Irian Barat
Pada 3 Februari 1998, sekitar pukul 09.30 WIB, Kapten Fauzani memerintah Kapten Dadang, Kapten Nugroho, dan Kapten Djaka untuk menangkap Desmond.
Desmond pun berhasil dibekuk ketika ia pergi ke luar kantor sekitar pukul 12.00 siang.
Penangkapan dilancarkan saat Desmond tengah turun dari mikrolet yang ia tumpangi. Setelah tertangkap, dalam keadaan tangan terikat dan mata dibalut kain hitam, Desmond dibawa ke markas Kopassus di Cijatung.
Selama di markas, Desmond banyak menerima siksaan fisik, salah satunya dipukul.
Ia juga dibawa ke sel bawah tanah.
Setelah itu, Kapten Fauzani memerintahkan Kapten Yulius untuk menangkap Aan Rusdianto, aktivis Partai Rakyat Demokratik di Rusun Klender.
Malam itu, Kapten Yulis menyamar sebagai pak RT. Ia mengetuk pintu rumah Aan. Sesaat begitu pintu dibuka, Aan langsung ditangkap dan dibawa ke markas.
Selain Aan, rupanya Nezar juga sedang berada di rumah tersebut. Ia kemudian turut ditangkap. Keduanya dibawa ke markas dan tiba sekitar pukul 20.30.
Kapten Yulis memerintah Kapten Djaka untuk tetap di Rusun Klender, barangkali masih ada orang yang akan datang.
Sayangnya, ketika Kapten Djaka hendak masuk ke unit yang disewa aktivis PRD tersebut, sudah lebih dulu ada petugas Koramil Duren Sawit.
Mereka menangkap Mugiyanto yang sedang berada di dalam kamar.
Setelah Aan dan Nezar, pada 4 Februari Pius Lustrilanang berhasil diciduk oleh Tim Mawar di depan RS Cipto Mangunkusumo di Salemba, Jakarta Pusat.
Setelah Pius, disusul Haryanto Taslam yang diculik pada 8 Maret 1998. Taslam merupakan salah satu aktivis PDI Pro-Megawati.
Penculikan selanjutnya terjadi pada 12 Maret 1998. Faisol Riza dan Raharja Waluyo Jati tertangkap di RS Cipto Mangunkusumo.
Usai menculik kedelapan orang tersebut, pada 27 Maret, atas perintah Mayor Bambang, Kapten Fauzani diminta menangkap Andi Arief.
Andi Arief adalah ketua umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi dan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik.
Andi Arief ditangkap di rumah kakaknya. Ia kemudian dibawa ke markas dan ditahan di sel bawah tanah.
Sembilan aktivis telah berhasil ditangkap, tetapi ternyata ada sekitar 13 aktivis lainnya yang juga ditahan oleh Tim Mawar di Markas Kopassus Cijantung, salah satunya adalah Wiji Thukul.
Ketiga belas aktivis tersebut sampai saat ini masih belum diketahui keberadaannya, sedangkan sembilan aktivis yang lain dipulangkan ke rumah mereka.
Desmond, Pius, Haryanto, Raharja, dan Faizol Riza yang disekap selama kurang lebih 1,5 - 2 bulan dipulangkan ke kampung halamannya.
Sedangkan Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Nezar Patria, yang disekap selama tiga hari diserahkan oleh Tim Mawar ke Polda Metro Jaya pada 15 Maret.
Ketiganya baru dibebaskan 5 Juni 1998.
Baca juga: Kehidupan Ekonomi pada Masa Orde Baru
Referensi: