Pada akhir abad ke-19, sistem perpajakan di Jawa bersifat regresif, artinya sangat memberatkan golongan yang berpendapatan rendah.
Satu-satunya golongan yang diwajibkan membayar pajak langsung kepada pemerintah kolonial adalah para petani.
Sementara perusahaan besar dan pegawai pemerintah kolonial hanya sedikit atau justru sama sekali tidak membayar pajak pendapatan.
Pada 1885, perkembangan dagang mulai berjalan lamban karena jatuhnya harga kopi dan gula di pasaran dunia.
Situasi ini mendorong perkebunan besar di Jawa untuk mengadakan penghematan drastis berupa penekanan upah dan sewa tanah sampai tingkat yang serendah mungkin.
Hal ini sangat mudah dilaksanakan karena penduduk Jawa tidak memiliki pilihan selain menyesuaikan diri dengan keadaan yang sangat merugikan.
Referensi: