Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyebab Merosotnya Kemakmuran Rakyat Jawa pada Abad ke-19

Kompas.com - 26/08/2021, 09:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pada pertengahan abad ke-19, Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di Indonesia.

Periode ini memberi peluang sepenuhnya kepada modal swasta untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia, khususnya perkebunan di Jawa.

Pihak swasta Belanda maupun Eropa lainnya pun berbondong-bondong untuk mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, dan gula.

Kaum liberal berkeyakinan bahwa usaha yang dicetuskan oleh swasta akan membawa kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyat Indonesia.

Namun, dari hasil penyelidikan Mindere Welvaarts Commisie (Panitia Kemerosotan Kemakmuran) atau panitia yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial untuk menyelidiki keadaan kesejahteraan penduduk Jawa, kemakmuran penduduk Jawa ternyata semakin menurun.

Kemerosotan kemakmuran penduduk Jawa disebabkan oleh berbagai faktor, sebagai berikut.

Penduduk Jawa meningkat pesat

Selama abad ke-19, jumlah penduduk Jawa meningkat pesat. Pertumbuhan ini mengakibatkan kenaikan produksi pertanian terus berkurang.

Permasalahan ini juga tidak dapat diatasi dengan penggunaan peralatan pertanian yang lebih efisien.

Sebab, para petani rata-rata sangat kekurangan modal sebagai akibat dari kemiskinan mereka.

Baca juga: Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, Kritik, dan Dampak

Adanya sistem kerja rodi

Dengan adanya sistem kerja rodi, para petani tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk bekerja keras.

Pasalnya, mereka mengetahui bahwa hasilnya tidak dapat dinikmati sendiri, tetapi akan diambil oleh pemerintah kolonial atau penguasa.

Beban berat Pulau Jawa

Selama abad ke-19, Jawa harus menanggung beban finansial untuk daerah-daerah lain di nusantara yang dikuasai Belanda.

Dengan demikian, dana yang tersedia dari penghasilan ekspor tanaman-tanaman Jawa tidak dipergunakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kesejahteraan rakyat Jawa sendiri.

Di samping itu, pada hakikatnya penduduk Jawa juga membiayai segala perang kolonial untuk menguasai daerah-daerah lainnya yang belum jatuh ke tangan Belanda, khususnya Aceh.

Bahkan untuk Perang Aceh sendiri, kabarnya memakan biaya hingga jutaan gulden.

Baca juga: Perang Aceh: Penyebab, Tokoh, Jalannya Pertempuran, dan Akhir

Sistem perpajakan yang regresif

Pada akhir abad ke-19, sistem perpajakan di Jawa bersifat regresif, artinya sangat memberatkan golongan yang berpendapatan rendah.

Satu-satunya golongan yang diwajibkan membayar pajak langsung kepada pemerintah kolonial adalah para petani.

Sementara perusahaan besar dan pegawai pemerintah kolonial hanya sedikit atau justru sama sekali tidak membayar pajak pendapatan.

Krisis di pasar dunia

Pada 1885, perkembangan dagang mulai berjalan lamban karena jatuhnya harga kopi dan gula di pasaran dunia.

Situasi ini mendorong perkebunan besar di Jawa untuk mengadakan penghematan drastis berupa penekanan upah dan sewa tanah sampai tingkat yang serendah mungkin.

Hal ini sangat mudah dilaksanakan karena penduduk Jawa tidak memiliki pilihan selain menyesuaikan diri dengan keadaan yang sangat merugikan.

 

Referensi:

  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com