Namun, keberhasilan ini ditentang oleh Gerakan Pemberontak Mozambik yang mendapat dana dari pemerintah Thodesia dan Afrika Selatan.
Akibatnya, terdapat sekitar 1.000.000 juta orang tewas dalam pertempuran dan kelaparan.
Hubungan antara Mozambik dengan Afrika Selatan semakin memburuk yang mengakibatkan timbulnya kekacauan politik dan militer di Mozambik.
Untuk mengatasi hal tersebut, PBB berperan sebagai penengah untuk melakukan perdamaian di antara kedua negara ini.
PBB kemudian meminta Indonesia mengirimkan Kontingen Garuda XVI pada Juni 1984 hingga 1994.
Tugas mereka adalah sebagai pemantau polisi sipil yang berada di bawah kendali pengamat PBB di Mozambik.
Ketegangan konflik antara Filipina dan Moro National Liberation Front (MNLF) berakar dari adanya keinginan MNLF untuk mendirikan negara Islam di Filipina.
Akan tetapi, keinginan ini ditentang oleh pemerintah Filipina, sehingga terjadi pertempuran di antara keduanya.
Jumlah orang yang tewas dalam konflik ini sangat bergaam, tetapi diperkirakan ada sekitar 6.015 orang.
Dalam proses perjanjian perdamaian antara pemerintah Filipina, pemerintah Indonesia turut berpartisipasi dalam mengatasi konflik tersebut.
Pemerintah RI mengirimkan Kontingen Garuda XVII yang berangkat pada Oktober 1994.
Mereka bertugas sebagai tim pengamat gencatan senjata antara pemerintah Filipina dan Moro National Liberation Front (MNLF).
Selama penugasan, Kontingen Garuda XVII dapat menyelesaikan tanggung jawab mereka dengan baik.
Hal ini terbukti dengan keberhasilan mereka dalam mendekatkan hubungan antara pihak MNLF dengan Filipina.
Sebagai perwujudannya, Agustus 1996, kedua pihak tersebut melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, yang kemudian sepakat dalam Perjanjian Perdamaian antara Filipina dan MNLF.
Referensi: