KOMPAS.com - Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar adalah raja Kesultanan Banten yang berkuasa antara 1683-1687 M.
Namanya dikenal karena disebut telah berkhianat kepada ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa.
Masa pemerintahannya juga menandai awal runtuhnya Kesultanan Banten dan dimulainya kekuasaan VOC di Banten.
Dengan kondisi demikian, sangat wajar apabila masa pemerintahan Sultan Haji diwarnai banyak kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang.
Sultan Haji adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa yang pada masa pemerintahan ayahnya dipercaya untuk mengurus kepentingan dalam negeri kerajaan.
Sementara untuk urusan luar negeri, Sultan Ageng Tirtayasa dibantu oleh putranya yang lain, yaitu Pangeran Arya Purbaya.
Seperti diketahui, pada masa pemerintahannya, Sultan Ageng Tirtayasa tidak hanya fokus memajukan kerajaannya, tetapi juga gigih melawan pendudukan Belanda di Indonesia.
Sayangnya, usaha pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh Belanda.
Perwakilan Belanda, W. Caeff, segera mendekati Sultan Haji yang dianggap sangat mudah untuk dipengaruhi.
Baca juga: Kerajaan Banten: Sejarah, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan
Akibat termakan hasutan Belanda, Sultan Haji menuduh pembagian tugas yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa adalah sebuah upaya untuk menyingkirkannya dari takhta kesultanan.
Alhasil, Sultan Haji berkhianat dalam bentuk bersekongkol dengan VOC, yang menjadi musuh bebuyutan ayahnya sendiri, untuk merebut takhta kekuasaan Banten supaya tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya.
Tentunya bantuan dari Belanda tidak datang secara cuma-cuma. Hal inilah yang membuat kedua belah pihak sering mengadakan perjanjian.
Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, Belanda mengajukan empat syarat, yaitu:
Demi takhta kerajaan, Sultan Haji pun langsung menerima persyaratan yang sangat merugikan Banten tersebut.
Dengan bantuan VOC, Sultan Haji menyerang ayahnya sendiri pada 1681 dan berhasil menguasai Keraton Surosowan.