Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ulama, Umara, Umat

Misalnya, masyarakat desa di Indonesia itu ada lurah atau kepala desa, sesepuh (bisa tetua adat), para kiai, ustadz, pendeta, pedande, romo, bhante, atau lainnya (unsur agama apapun), dan warga desa (bisa disebut rakyat). Ada interaksi yang menarik dan bisa memberikan kunci-kunci.

Dulu, orang Indonesia disebut komunal (sering kumpul walau tidak makan-makan). Masyarakat kita itu cirinya agraris, artinya para pertanian memengaruhi pola pikir kita. Kerja ya di sawah atau ladang.

Ada beberapa masyarakat kita hidup di pantai yang bersifat bahari, sebagai nelayan atau sering pergi dengan kapal. Mereka lebih mobile atau dinamis, dan terhubung ke pulau-pulau lewat laut.

Dalam masyarakat komunal, kebersamaan menjadi penting. Orang per orang, atau disebut individu, tenggelam dalam hebohnya jamaah. Identitas bukan identitas orang, tetapi kelompok. Itu dulu. Sekarang lain lagi.

Masyarakat Indonesia kini lebih berkembang ke arah individualis dalam suasana ekonomi pasar bebas. Asal muasal kata liberal dari situ.

Liberalisme itu bukan kebebasan atau tidak bebas, tetapi pasar mengendalikan manusia. Pemerintah juga patuh pada hukum pasar.

Artinya pasar mengendalikan pola manusia berpikir dan bergaul satu dan lainnya. Coba lihat media sosial, Instagram atau Facebook, kadangkala netizen (pengguna medsos) lebih menunjukkan ciri individu. Namun, kalau sudah bertengkar, identitas kelompok dibawa-bawa.

Satu sisi, merek baju, sepatu, kerudung, tas, sarung menjadi penanda individu. Merek menunjukkan kelas.

Sisi lain, anggota kelompok keseharian menjadi penting, pengajian mana, geng motor apa, gitaran di pinggir jalan mana. Jati diri kelompok jadi penting.

Haji menunjukkan sifat-sifat masyarakat Indonesia. Kita masih komunal, tetapi juga individual. Identitas Indonesia di Mekkah sangat mencolok.

Selera individu, di saat yang sama, juga ke depan. Jamaah haji Indonesia yang menggunakan bus sholawat. Ini menjadi ciri khas.

Jamaah negara-negara lain rata-rata tidak mempunyai fasilitas serapi itu. Masyarakat Indonesia yang jamaahnya bergerombol itu, di area Masjid Haram, Ka’bah, sa’i, dan pasar-pasar kaget.

Di supermarket grocery Bin Dawood, semacam Lotte Mart atau Super Indo di Indonesia, jamaah haji Indonesia sering berkerumun. Ini ciri khas jamaah haji Indonesia.

Di sisi lain, ada beberapa yang menunjukkan kualitas selera yang berbeda, dari merek baju yang digunakan, oleh-oleh yang dibeli, atau telfon genggam yang ditenteng.

Dalam masyarakat Indonesia ada struktur yang berlaku, yaitu relasi ulama (representasi dari pemimpin agama), umara (pemerintahan, baik desa maupun negara), dan umat (warga negara).

Memang dalam perbincangan ilmu politik di Indonesia, ada pemisahan yang tegas antara negara dan agama. Mulai dari Driyarkara, Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Yudian Wahyudi, Teha Sumartana, Yahya Cholil Staquf, Yaqut Cholil Qoumas, Kuntowijoyo semua sepakat bercampurnya agama dan politik berbahaya. Politik identitas sama bahayanya.

Namun dalam masyarakat Indonesia peran dan fungsi agama dalam struktur sosial kita tidak hilang serta merta. Agama masih bertahan dengan fungsi tertentu.

Ulama merupakan representasi dari mereka yang menguasai ilmu dan ritual. Umara mewakili dari mereka yang dipillih oleh rakyat dalam prosedur demokrasi. Keduanya akhirnya berhungan erat dengan umat.

Umat bergantung pada ulama secara informal, pengajian, misa, puja, dan lain-lain. Umat secara formal memilih dan diperintah umara.

Sejak dua atau lima ribu tahun lalu, di Mesir Kuno para pendeta itu diangkat oleh Fir’aun, para raja. Mereka menguasai seluruh ilmu pengatahuan. Ilmu kedokteran, bintang, pertanian, obat-obatan, arsitektur dikuasai oleh para pendeta dan ilmuwan di bawah raja.

Rakyat hidup dengan tergantung pada pertanian di sekitar sungai Nil. Raja berperang dan membuat damai dengan kerajaan-kerajaan sekitar. Jika damai, rakyat menikmatinya. Jika perang, rakyat direkrut menjadi tentara.

Kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara menunjukkan hal yang sama. Para biksu atau pedande membantu para raja.

Candi-candi tua di sekitar Yogyakarta, baik Hindu atau Buddha masih menyisakan catatan bahwa para raja tergantung para pendeta.

Rakyat adalah umat yang diatur secara hukum agama oleh pendeta dan diatur hukum negara oleh para raja.

Eropa Abad pertengahan juga sama. Gereja bekerjasama dengan kerajaan-kerajaan soal pajak dan perang.

Bahkan sampai sekarang, sebagian pajak rakyat masuk gereja melalui sistem resmi negara. Maka tidak beragama berarti tidak membayar pajak ke gereja. Itu makna di Eropa.

Saat ini agama hadir dengan cara yang berbeda, tetapi fungsi kurang lebih sama. Bergeser pun, sedikit.

Kerjasama antara ulama, umara, dan umat masih relevan. Ulama tidak hanya ahli ilmu agama, tetapi intelektual, cendikiawan, ilmu apapun agama atau sains, termasuk ulama. Umara adalah pemerintah kita. Umat adalah para jamaah.

Haji adalah kerjasama antara umara, umat, dan ulama. Umara adalah stuktur pengurus haji. Ulama adalah kiai, ustadz, dokter, dan penguasa ilmu-ilmu lain. Umat menerima layanan.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/06/26/070000279/ulama-umara-umat

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke